Mohon tunggu...
Ita Pravitasari
Ita Pravitasari Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Fakultas Psikologi UI 2009\r\nAnggota Badan Otonom Pers Suara Mahasiswa UI

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buah Tangan dari Upaya Mengenal Lekra

23 Oktober 2010   16:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:10 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tak kenal PKI? Pelajaran sejarah tentu sudah memperkenalkan PKI kepada kita melalui satu sisi cerita tentang kebengisan dan ketidakmanusiawiannya. Tapi, berapa banyak yang tahu tentang Lekra? Jujur, Saya sendiri baru mengetahui istilah Lekra saat saya mengerjakan latihan soal sejarah SNMPTN setahun yang lalu. Lalu, sebenarnya apa itu Lekra?

Pada tanggal 29 September 2010 yang lalu, Departemen Seni Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia telah mengadakan sebuah diskusi yang mengambil tajuk “Mengenal Lekra” di Auditorium Gedung A FIB UI. Diskusi ini merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap salah satu sejarah yang terlupa, yaitu Lekra. Hal ini juga secara implisit disampaikan oleh ketua BEM UI 2010, Imaduddin Abdullah saat memberikan kata sambutan sebelum diskusi dimulai: “sejarah, baik itu terang maupun kelam, merupakan hal yang harus kita ketahui”.

Terdapat empat pembicara dalam diskusi ini, yaitu Hilman Farid (Sejarawan UI), Martin Aleida (Mantan Anggota Lekra), Fadli Zon (perwakilan dari FIB UI), dan Taufik Ismail (Sastrawan). Hilman farid merupakan pembicara yang diberikan kesempatan untuk menyampaikan beberapa hal yang berkenaan dengan Lekra.Pembicara yang sedang menempuh pendidikan doktoral ilmu sejarah di Malaysia ini, pertama-tama menjelaskan singkatan dari LEKRA, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat. Lalu ia menjelaskan bahwa Lekra yang berdiri selama 15 tahun ini merupakan organisasi yang sering disandingkan dengan PKI karena salah satu pendirinya merupakan orang yang juga aktif di PKI, yaitu DN Aidit. Uniknya, menurut studi yang pernah dilakukan Hilman, beberapa seniman desa yang dianggap terlibat dalam Lekra justru tidak mengetahui apa itu Lekra dan juga tidak mengetahui bahwa mereka dianggap berada di bawah naungan PKI.

Menurut Hilman, fenomena serupa Lekra merupakan hal yang wajar terjadi di negara-negara bekas jajahan. Hal ini karena negara penjajah tentunya dapat mempengaruhi kebudayaan yang ada di negara jajahannya. Inggris misalnya, menetapkan bahasa inggris sebagai bahasa resmi hampir di seluruh negara jajahannya. Meskipun Belanda tidak menetapkan peraturan yang serupa dengan Inggris, bukan berarti Belanda tidak mempengaruhi kebudayaan Indonesia. Misalnya, dalam ejaan lama, ‘oe’ dibaca’u’. Lekra saat itu merupakan organisasi yang mencoba melakukan antipoda terhadap kebudayaan kolonial.

Pembicara selanjutnya, yaitu Martin Aleida, mantan anggota Lekra yang pernah belajar di Perguruan Multatuli (sekolah sastra yang didirikan Pramoedya Ananta Toer), lebih banyak menceritakan tentang pengalamannya bersama Lekra. Ia juga mengemukakan pendapatnya mengenai ketidakadilan yang terjadi bagi PKI, yaitu ketika oknum PKI yang membunuh para jendral sudah dieksekusi, tidak ada satupun pihak yang bertanggung jawab atas matinya 500 ribu orang yang dituduh sebagai PKI. Adapun Fadli Zon mulai menjelaskan tentang perbedaan komunis di Eropa Barat dan Asia-Rusia. Pembicaraan menarik yang juga menegangkan akhirnya disampaikan oleh Taufik Ismail. Beliau mengemukakan pandangannya terhadap Lekra dan PKI melalui satu bundel makalah yang bercerita tentang kebengisan kaum komunis. Penyampaian isi makalah ini dilakukan dengan nada yang tidak biasa, Beliau menyampaikan isi makalah dengan bersyair! Juga dengan pemilihan kata-kata yang tak pernah terpikir. Situasi diskusi menjadi sangat menegangkan tatkala Taufik Ismail menyairkan: “Lekra adalah sekrup dari mesin komunisme!”. Ia menekankan kita (generasi muda) melakukan hal yang sia-sia dengan mencoba ‘mengelap dan memoles’ nama Lekra dengan mengadakan diskusi seperti ini. Ia berkata bahwa seseungguhnya hal yang harus dilakukan anak muda sekarang adalah membasmi kebodohan, membasmi korupsi, dan memperjuangkan pemerataan pendidikan.

Acara diskusi ini dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Namun, karena saat itu saya ada keperluan lain, saya tidak mengikuti acara diskusi ini sampai selesai. Sejujurnya, diskusi ini berbeda dengan ekspektasi saya. Sebelumnya saya mengira diskusi ini akan lebih membahas Lekra secara lebih khusus, seperti misalnya membahas tokoh ciri khas sastra keluaran Lekra secara mendalam. Tapi, rupanya Lekra dalam diskusi ini diperkenalkan melalui hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia. Walaupun begitu, setidaknya dari diskusi ini saya mendapat bahan renungan: “apa iya, upaya mengenal Lekra merupakan hal yang sia-sia?”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun