Di dalam konsep pemahaman Buddhis, ketika kesinambungan batin (mental continuum) seseorang dilahirkan kembali maka insting, bakat, kebiasaan-kebiasaan dan jejak-jejak karma pun akan dibawa dari satu kehidupan ke kehidupan selanjutnya. Analogi ini juga bisa dikaitkan dengan Nalanda, salah satu universitas monastik terbesar dan tertua di dunia.
Nalanda lahir di abad ke-2 Masehi, mencapai puncak kejayaannya di abad ke-5 dan ke-6 kemudian hancur di abad ke-12 Masehi. Beruntung sekali, silsilah dan tradisi monastik Nalanda yang diwariskan oleh Sang Penakluk, Buddha Saykyamuni di India ini, sempat dicangkok dan dibawa ke daerah lain pada abad ke-8 Masehi sehingga ketika Nalanda hancur di India, maka silsilah dan tradisi yang amat sangat berharga ini pun tidak ikut terputus namun tetap terpelihara di wilayah Tanah Bersalju, Atap Dunia, Tibet, yang terletak di pegunungan Himalaya, sekitar 1.000 km dari India.
Orang-orang Tibet mulai tertarik dengan Buddhisme dan mulai mempelajarinya sejak abad ke-7. Namun Buddhadharma barulah benar-benar mulai berbentuk dan mengakar di Tibet sejak abad ke-8. Ada dua guru besar dari India yang diundang oleh Kaisar Tibet pada masa itu ke Tibet, yaitu Padmasambhava dan Shantarakshita. Merekalah yang membangun biara pertama di Tibet, yaitu Biara Samye, cangkokan pertama Biara Nalanda dari India ke Tibet.
Shantarakshita adalah seorang guru besar dan cendekiawan yang sangat luar biasa dari Nalanda. Beliau juga adalah yang pertama membawa silsilah penahbisan biksu Mulasarvastivada ke Tibet dan hingga sekarang silsilah ini masih terjaga tak terputus di Tibet. Mulasarvastivada merupakah salah satu dari tiga silsilah vinaya biksu yang masih terjaga di dunia hingga saat ini, bersama-sama dengan Theravada dan Dharmagupta. Shantarakshita juga adalah seorang filsuf yang menganut paham Madhyamaka (Jalan Tengah) dan beliau memiliki logika yang sangat cemerlang.Â
Bakat logika ini telah beliau pupuk dari masa pendidikan beliau di Nalanda. Peran beliau sangatlah krusial dalam membawa dan memperkenalkan Buddhadharma ke Tibet. Secara alami, ketika seorang guru adalah juga seorang filsuf dan ahli logika, maka tentu saja guru tersebut pun pasti akan membawa muridnya ke arah pembelajaran yang sama dengannya, yaitu fokus pada filsafat dan logika. Maka demikian pula halnya dengan Shantarakshita dan Biara Samye pun menduplikasi tradisi pembelajaran filsafat dan logika dari Nalanda dan ini menjadi cikal bakal tradisi pembelajaran filsafat Buddhadharma yang sangat mendalam di Tibet hingga sekarang.
Pada masa itu, banyak sekali dilakukan penerjemahan teks Buddhadharma dari India ke Tibet. Shantarakshita khusus menerjemahkan teks Sutra sedangkan Padmasambhava fokus menerjemahkan teks-teks Tantra. Tercatat ada ratusan orang penerjemah yang bekerja di bawah supervisi kedua orang tersebut dan mega proyek ini berjalan selama bertahun-tahun. Ini dikenal sebagai Periode Penerjemahan Awal di Tibet. Selanjutnya Padmasambhava juga dikenal sebagai yang paling berperan dalam membawa pelajaran-pelajaran Tantra / Vajrayana ke Tibet. Beliau juga merupakan pendiri tradisi Nyingma di Tibet, sebuah sekte paling awal di Buddhisme Tibet.
Di sekitar akhir abad ke-9, ada sebuah periode di mana seorang Kaisar Tibet yang bernama Langdarma menghancurkan tradisi Buddhis di Tibet. Semua biara ditutup dan Buddhadharma dilarang untuk dipelajari. Kemudian pada sekitar akhir abad ke-10, dimulailah sebuah gelombang yang disebut sebagai Periode Penerjemahan Baru, karena banyak teks-teks Nyingma yang disalahpahami.Â
Banyak guru dan penerjemah yang diundang dari India pada periode ini. Sekte kedua di Buddhisme Tibet, yaitu Sakya, adalah lahir di masa ini. Salah satu pelopor berdirinya sekte ini adalah  Virupa, yang pernah menjabat sebagai Kepala Biara Nalanda di India. Selanjutnya juga lahir sekte ketiga di Tibet, yaitu Kagyu. Pelopor berdirinya sekte ini antara lain adalah Naropa, seorang lulusan cemerlang dari Nalanda, dan juga sang penerjemah Marpa yang merupakan guru akar dari Milarepa yang sangat terkenal.
Sekte yang keempat di Tibet, yaitu Kadam, dipelopori oleh Atisha, seorang biksu India, guru besar dari Nalanda, yang juga diundang ke Tibet untuk merestorasi Buddhadharma di sana. Yang menarik adalah Atisha sebelum ke Tibet, sempat belajar selama 12 tahun di Sriwijaya, Indonesia. Seorang biksu asli Sumatera yang bernama Serlingpa Dharmakirti dari Suwarnadwipa bahkan dijadikan sebagai guru akar oleh Atisha. Sekitar tiga abad kemudian, ketika Buddhadharma kembali merosot di Tibet, Je Tsongkhapa muncul sekitar akhir abad ke-14 dan kembali mereformasi Buddhadharma Tibet, berdasarkan ajaran-ajaran yang diwarisi dari Atisha, sehingga Kadam kemudian pun diberi nama baru menjadi Gelug.
Di Tibet, Tripitika atau kumpulan ajaran Buddha Sakyamuni biasanya dikenal dengan sebutan Kangyur dan di dalamnya tercakup sutra, vinaya dan abhidharma. Kumpulan ajaran Buddha atau Kangyur ini juga ditemani oleh sebuah kumpulan teks yang disebut sebagai Tengyur yang berisi kitab-kitab komentar/penjelasan dari para guru besar yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet dan sebagian besar dari mereka merupakan guru-guru besar dari India, khususnya silsilah Nalanda, di antaranya adalah Nagarjuna, Aryadeva dan sebagainya. Â
“Ketika saya masih kecil dan baru saja memulai pendidikan Buddhadharma, saya memulainya dengan menghapal semua teks akar yang ditulis berdasarkan tradisi Nalanda. Semua orang Tibet, yang belajar filsafat klasik Buddhadharma pun melakukan hal yang sama, yaitu mempelajari teks-teks akar yang ditulis oleh guru-guru besar Nalanda, seperti Nagarjuna, Aryadeva, Asanga, Vasubhandu dan seterusnya. Semua teks fundamental adalah berasal dari Nalanda. Bahkan ketika ada penulis-penulis komentar dari Tibet yang hendak memperkuat argumennya pun akan mengutip dari perkataan guru-guru besar India,’ demikianlah H.H. Dalai Lama ke-14 pernah berujar.