Mohon tunggu...
Emanuel Pratomo
Emanuel Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - .....

........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dari Sandiwara Radio Menuju Kesiapsiagaan Bencana

16 September 2016   21:13 Diperbarui: 16 September 2016   21:52 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Talkshow & Peluncuran Sandiwara Radio

Jumlah penduduk Indonesia menurut hasil Sensus Penduduk 2010 tercatat sekitar 235 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis, agama dan adat-istiadat. Keragaman tersebut merupakan kekayaan demografi yang tak dimiliki bangsa lain. Namun potensi ini justru dapat berkembang menjadi konflik dan bencana sosial, karena pertumbuhan penduduk tinggi tak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang merata. Aksi teror, kerusuhan sosial hingga sabotase telah sering mewarnai sendi kehidupan masyarakat dan negara. Jika potensi bencana sosial di atas diakibatkan oleh manusia, maka ada pula potensi bencana alam dan non-alam. Bencana alam diakibatkan peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, angin topan, tanah longsor, kekeringan. Sementara bencana non-alam diakibatkan peristiwa seperti kegagalan modernisasi teknologi, epidemi dan wabah penyakit. Potensi bencana alam dan non-alam ini sangat rentan terjadi akibat kerusakan ekosistem lingkungan, dimana pembangunan selama ini yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam dalam skala masif. Intensitas banjir, tanah longsor, kekeringan terus terjadi silih berganti melanda wilayah Indonesia. Kecelakaan transportasi, industri hingga wabah penyakit akibat kesalahan/kegagalan penerapan teknologi dalam merespon mobilisasi penduduk yang tinggi. 

Kondisi geografis Indonesia yang terletak pada empat pertemuan lempeng tektonik (Benua Asia, Benua Australia, Samudra Hindia, Samudra Pasifik) serta sabuk vulkanik yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua & dataran rendah dominan dengan rawa-rawa, akan sangat berpotensi rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir hingga tanah longsor. Tak salah Indonesia dijuluki sebagai negeri cincin api (ring of fire), dengan terdapatnya 127 gunung api aktif yang merupakan 13% populasi gunungapi di dunia. Letusan Gunung Tambora pada tahun 1816 telah menimbulkan korban dan kerugian terbanyak dalam peradaban modern, diantaranya kegagalan panen dan bencana kelaparan di benua Eropa hingga Kanada. Gempa bumi 6,3 SR di Jogja pada tahun 2006 menimbulkan kerugian hingga 29,1 trilyun rupiah. Tercatat pula 173 kejadian tsunami kecil dan besar antara tahun 1629 hingga 2014. Gempa dan tsunami di Aceh pada tahun 2004 selain meluluhlantakan Aceh, juga mengirim tsunami hingga ribuan kilometer ke berbagai belahan dunia lainnya. Bencana asap kebakaran hutan & lahan, akibat lemahnya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan tata ruang hutan. Sementara bencana longsor akibat lemahnya penataan ruang wilayah terutama permukiman di tebing & lereng perbukitan. 

Gempa bumi di Jogja tahun 2006 sangat terasa di pagi hari hingga menggoyangkan rumah dua lantai yang ditempati saat tinggal di Surabaya. Sekitar dua minggu kemudian saat ada pekerjaan dan berkunjung ke Jogja pun masih merasakan beberapa kali getaran gempa. Saat erupsi Gunung Kelud tahun 2014, hujan abu pun menghiasi kota Surabaya. Sungguh agak bergetar merasakan bencana yang meski cukup jauh jaraknya dari pusat kejadian.

Melihat berbagai rentetan bencana yang saling sambung-menyambung, begitu banyak korban nyawa manusia berjatuhan. Adakah kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana? Bagaimanakah komunikasi dan sosialisasi kesiapsiagaan bencana dan penanggulangan pasca bencana selama ini yang telah dilakukan di tengah masyarakat? BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) selaku pemegang mandat UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, di tahun 2016 ini telah melakukan program sosialisasi Kesiapsiagaan Bencana dengan menggunakan media komunikasi radio. Program "Asmara di Tengah Bencana" (ADB) berbentuk Sandiwara Radio ini diperkenalkan dalam Kompasiana Nangkring - BNPB, yang diselenggarakan pada 18 Agustus 2016 lalu di Dafam Teraskita Jakarta Timur. Narasumber yang hadir adalah DR. Sutopo Poerwo Nugroho (Kapusdatin Humas BNPB), Achmad Zaini (Praktisi Radio), S. Tidjab (Penulis Naskah ADB). Hadir pula Haryoko (Sutradara ADB), Indra Mahendra (Penata Suara ADB) dan para pengisi suara seperti Ivone Rose, Ajeng dan Nanang Kasila.

Sutopo Poerwo Nugroho menjelaskan bahwa salah satu tugas BNPB memberikan pedoman dan pengarahan penanggulangan bencana seperti pencegahan bencana, tanggap darurat, rekonstruksi dan rehabilitasi. Berbagai upaya sosialisasi dan edukasi terus dilakukan secara kontinyu di segenap segmen masyarakat. Apakah masyarakat kita siap menghadapi bencana? Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BNPB, BPS dan UNFPA pada tahun 2013 yang meliputi pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) & perilaku (practice), ternyata tingkat pengetahuan bencana oleh masyarakat sudah relatif baik namun belum menjadi sikap, perilaku dan budaya hidup dengan kaitan upaya mitigasi bencana. Salah satu buktinya adalah pihak BNPB banyak kehilangan alat pendeteksi tsunami di laut akibat diambil oleh para nelayan. Kesiapsiagaan berupa kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan dini serta mobilisasi sumber daya masih minim dilakukan masyarakat dan Pemerintah Daerah. Selain itu kebijakan pembangunan daerah yang masif di wilayah rawan gempa dengan mitigasi terbatas, tak menaati peta rawan bencana gempa yang telah dibuat para ahli dan didistribusikan ke antar lembaga pemangku kepentingan (stakeholders) tingkat pusat dan daerah. 

Tercatat ada sekitar 75 kabupaten/kota di Indonesia yang berada di daerah bahaya sedang-tinggi dari erupsi gunungapi. Sekitar 153 kabupaten/kota berada di zona bahaya tinggi dan 232 kabupaten/kota di zona bahaya sedang rawan gempa bumi. Wilayah Jawa bagian selatan sangatlah rawan tsunami dengan potensi gempa bumi 8,2 SR. Untuk mengatasi persoalan komunikasi antar masyarakat maupun pemerintah daerah, BNPB pun telah aktif menerbitkan peta rawan bencana. Berbagai pemanfaatan bentuk media pun telah diupayakan secara terus menerus. Website/situs BNPB hingga socmed Twitter dan Facebook pun, telah menjadi jendela informasi lewat media online. Pemanfaatan lainnya lewat Media cetak (koran, majalah, poster, buku, dll), media penyiaran (radio, televisi), media luar ruang (pameran, videotron, TV Plasma, baliho, spanduk, dll), media tatap muka (workshop, seminar, diskusi, Forum Komunikasi, media gathering), hingga media tradisional (pertunjukan wayang, reog, dll).

Sosialisasi kewaspdaan bencana pernah dilakukan BNPB dalam bentuk film seperti "Nyanyian Musim Hujan" & "Pesan dari Samudra" (kerjasama dengan Mira Lesmana & Riri Riza), serta program Explore Indonesia (Memoles Rupa Tambora, Nias Menyambung Nafas, Manabung Asa pada Sinabung) yang bekerjasama dengan Kompas TV. Pemilihan sandiwara radio sebagai bentuk media penyampaian pesan penanggulangan bencana, dijelaskan oleh Sutopo agar mudah diserap oleh masyarakat melalui kisah heroik dan romansa seperti kisah sukses beberapa sandiwara radio di masa lampau. Harapannya kesiapsiagaan bencana akan dapat meminimalisir kerugian dampak bencana. Di negara Jepang setiap 1 dollar yang digunakan sebagai dana edukasi dan sosialisasi bencana, dapat menekan kerugian hingga 7 dollar akibat bencana.


Menurut Achmad Zaini pilihan radio itu karena jangkauan siaran, banyaknya para pendengar yang memiliki ikatan emosional dengan penyiar radio, cepatnya penyampaian informasi terkini ke pendengar radio. Saat ini pendengar setia radio masih relatif tinggi di daerah pedesaan (terutama luar Pulau Jawa) dan pada segmentasi tertentu di wilayah perkotaan. Selain media radio relatif murah meriah, juga dapat membuat para pendengarnya berimajinasi dengan alur cerita para tokohnya. Zaini kemudian melihat bahwa pemilihan kedua puluh radio ini sangatlah tepat, karena wilayah jangkauan siarannya merupakan berpotensi tinggi terhadap berbagai macam bencana. Sandiwara Radio merupakan pertunjukan drama yang mengandalkan dialog, musik dan efek suara. Dalam dunia hiburan internasional, Sandiwara Radio mengalami kejayaan di era 1920-an hingga 1940-an. Pamor meredup sejak tahun 1950-an dengan munculnya media televisi. Era 1980-an hingga 1990-an popularitas Sandiwara Radio sangat besar di tanah air. Wah jadi teringat Genre persilatan berlatar kerajaan seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri dari Gunung Merapi, Mahkota Mayangkara sangatlah dinantikan para pendengar setianya, entah pada pagi hari, siang hari bahkan malam hari. Tokoh-tokoh Kerajaan Madangkara seperti Mantili, Lasmini, Raden Bentar dan tentu saja sang Raja Brama Kumbara dengan Ajian Serat Jiwa - Ilmu Lampah Lumpuh yang mampu menandingi kedahsyatan Ilmu Salju Menyiram Bumi dari negeri Tibet, sangat melekat dalam serial Saur Sepuh. Dalam serial Misteri Dari Gunung Merapi muncul tokoh seperti Sembara, Mak Lampir dan Datuk Panglima Kumbang. 

Sementara serial Tutur Tinular mengingatkan tokoh Arya Kamandanu, Arya Dwipangga, Mei Chin. Untuk Sandiwara Radio bergenre drama tentu saja akan teringat pada tokoh Sasongko pada serial Ibuku Malang Ibuku Tersayang. Segmentasi pendengar radio pun sesuai minat dan ikatan emosional. Jika para pendengar radio itu merupakan kalangan profesional/pebisnis di Jakarta, maka akan cenderung mendengarkan PasFM dan SindoTrijaya. Untuk mengetahui informasi perkembangan lalu lintas dan berita terkini akan cenderung mencarinya di Radio Elshinta dan SonoraFM. Para remaja dan anak muda pun akan cenderung dengan menyetel Prambors, HardRockFM, GenFM, DeltaFM. Pengalaman tinggal hampir 11 tahun di Surabaya, radio yang disebutkan diatas semuanya telah berekspansi ke Surabaya. Namun radio asal Jakarta serta Radio Oz asal Bandung pun harus berjuang ekstra keras untuk bersaing dengan SuaraSurabaya, Suzana, MediaFM, Istara, Suara Giri, JJFM. Zaini juga mengatakan bahwa Bens Radio sebagai salah satu radio dangdut, merupakan radio yang memiliki jumlah pendengar fanatik yang sangat banyak di Jakarta. 

Sementara itu menurut sang sutradara ADB Haryoko, efek suara secara teknis relatif mudah didapat dibandingkan era 1980-an yang harus dibuat sendiri. Namun ada yang patut menjadi perhatian adalah lambatnya regenerasi para pengisi suara sandiwara radio. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun