Indonesia Business & Development Expo (IBDExpo) 2016 yang berlangsung di Jakarta Convention Center pada 8-11 September 2016, merupakan ajang pameran seluruh perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bertemakan BUMN Sebagai Agen Pembangunan. Â Perhelatan ini diprakarsai oleh 4 perusahaan BUMN yang tergabung dalam klaster NPNC (National Publishing and News Corporation) yaitu PT Balai Pustaka (Persero), Perum LKBN Antara, Perum PNRI dan Perum PFN.Â
Perum PFN (Perusahaan Film Negara) yang berdiri sejak 1945, terus berkomitmen untuk menjadikan industri film nasional bukan hanya sekedar sebagai sarana hiburan, namun juga sebagai sarana edukasi dan penyebar nilai-nilai pendukung investasi peradaban serta pembentukan karakter bangsa. Peristiwa bersejarah negeri ini yang terekam oleh PFN antara lain Pekan Olahraga Nasional (PON) I di Solo, Peristiwa PKI Muso di Madiun, Perjanjian Linggarjati, Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Pembangunan & Peresmian Masjid Istiqlal. Beberapa produksi film layar lebar dan serial televisi PFN seperti Serangan Fajar, Kereta Api Terakhir, Warok, Jakarta 66, Pengkhianatan G-30/S PKI, Â Si Unyil (500 episode), Keluarga Rahmat, Aku Cinta Indonesia, Si Huma.Â
Selama IBDExpo berlangsung, PFN menggelar mini bioskop yang menampilkan tayangan beberapa film seperti K vs K & Kompilasi Film Pendek, Surat Untuk Bidadari, Impian Kemarau, Kereta Api Terakhir, Sebelum Pagi Terulang Kembali dan Tiga Dara. Pada 8 September 2016 lalu sempat menonton "Surat Untuk Bidadari" bersama belasan pengunjung IBDExpo. Ada beberapa adegan yang tak layak menjadi panutan (mungkin terinspirasi dari planet neraka kenthir yang entah berada di galaksi mana dari bumi tercinta ini). Untunglah tidak ada anak-anak yang turut hadir menyaksikan, sehingga mengurangi berbiaknya generasi kenthir di zaman kalabendu nan sendu di negeri ini.Â
Bagaimanakah akhir kisah Tiga Dara tersebut? Â Saksikan ya di bioskop yang masih sukacita memutarnya dengan setia, ikhlas dan tanpa pamrih. Jika habis masa pemutaran di bioskop belum sempat menonton, berharaplah ada dermawan di kota masing-masing memutarkannya dalam berbagai event nobar spesial. Belilah produk aseli tanpa melanggar hak cipta, jika telah dipasarkan oleh produser dalam berbagai bentuk media yang dapat dinikmati secara pribadi.Â
Jadi teringat kultwit seorang sutradara muda ternama negeri ini di akun twitternya pada 20 Agustus 2016 lalul. Menurut @jokoanwar, restorasi itu pengembalian kondisi gambar dan suara film hingga sesuai dengan saat film tersebut pertama kali rilis. Kita di Indonesia kalaupun dapat menonton film-film nasional lama tahun 90-an kebawah akan kecewa, karena gambar dan suaranya pecah. Kualitas gambar film jaman dulu yang tersedia di VCD pun compang-camping warnanya dan beresolusi rendah. Â Hal ini disebabkan proses penembakan ke dinding saat transfer dari film ke tv/video, dengan pertimbangan biaya murah jika dibandingkan melalui proses yang proper yang dikenal sebagai 'telecine'. Proses penyinpanan film seluloidnya pun tidak proper, mengakibatkan kerusakan akibat jamur/kimiawi (vinegar syndrome ).
Preservasi terhadap film Indonesia  memang sangat rendah dan banyak yang tak perduli. Dicontohkan Yayasan Sinematek yang banyak menyimpan banyak film namun kekurangan dana. Makanya perfilman nasional bagaikan tanpa masa lalu,  karena tak dapat melihat karya sineas masa lampau. Padahal kita dengan mudah bisa menonton film-film lama/klasik Eropa dan Amerika.Â
Film-film lama kita itu merupakan harta karun. Peninggalan budaya dan rekaman sejarah perjalanan bangsa yang tak ternilai harganya. Beruntunglah masih ada pihak yang berkenan merestorasi film klasik nasional, seperti film "Lewat Djam Malam" pada tahun 2012 dan tahun 2015 dilakukan SA Films terhadap film "Tiga Dara". Dengan visi dan misi kenthir, Â restorasi mengeluarkan biaya hingga tiga milyar rupiah memakai resolusi 4K. Proses restorasi dilakukan di Laboratorium L'immagine Ritrovata Bologna Italia selama delapan bulan pada tahun 2015. Kemudian proses format digital 4K dilakukan oleh Render Digital Indonesia di Jakarta.Â
 Hasilnya memang luar biasa seperti yang terlihat mata para penontonnya.  Hanya sedikit bintik-bintik yang terlihat dalam hitungan per sekian detik bagi yang dianugerahi indra penglihatan istimewa. Kita dapat menyaksikan bagaimana interaksi budaya, arsitektur bangunan & wilayah,  kendaraan bermotor yang sedang menjadi trend pada tahun 1956.Â
Jika melihat jumlah penonton "Tiga Dara" yang berkisar baru 20 ribuan orang menurut berita resmi terkini,  memang diasumsikan proyek restorasi ini merugi menurut kacamata umum yang waras. Tentu saja pastinya ada kalkulasi hitungan bisnis sesuai visi dan misi ala orang kenthir pemerhati film. Namun juga dibutuhkan 'birokrat kenthir' khususnya pihak Perum PFN sebagai perwakilan pemerintah, dalam usahanya sebagai perusahaan industri kreatif terdepan melalui film pembangunan karakter nasional. Sinergitas antar pemangku kepentingan (stakeholders) diharapkan dapat menjaga sebelum 'film lama'  berlalu sendu begitu saja,  ketika generasi mendatang ingin  dapat menyaksikannya kembali.Â