Majawati Oen mengulas dua tokoh inspiratif wanita yang hanyalah ibu rumah tangga biasa di wilayah Malang Raya pada halaman 91. Kedua sosok tersebut adalah Sri Wilujeng "Bu Wiwik" (49 tahun) yang berdomisli di Kotamadya Malang serta Lilik Indrawati "Bu Indra" (29 tahun) berdomisli di Kabupaten Malang. Dalam proses wawancara ada perbedaan kedua sosok tersebut. Bu Wiwik ketika ditanya akan memberikan jawaban yang panjang. Sementara Bu Indra ketika ditanya hanya memberikan jawaban pendek saja (ternyata hanya grogi). Akhirnya materi yang berimbang didapat dengan bantuan fasilitator BTPN. Maka pesan misi pemberdayaan yang diingini tersampaikan. Bu Wiwik hanyalah buruh penggarap untuk menyambung potongan kain pada pekerjaan konveksi. Sementara Bu Indra juga buruh penggarap pada usaha bordir. Setelah mereka berdua menjadi nasabah BTPN, mereka mendapatkan modal pinjaman plus pelatihan berkelanjutan dalam pengembangan usaha. Aktivitas bekerja pun mengalami peningkatan kemampuan, yang dapat menghasilkan peningkatan upah 10x lipat. Dengan bantuan modal BTPN, Â mereka dapat membeli mesin jahit untuk proses produksi. Program Daya Tumbuh Komunitas BTPN telah membuat perubahan kapasitas manajerial mereka berdua.Â
Bisnis coklat yang dikembangkan oleh Taryat (40 tahun) ditulis oleh Khairunnisa Maslilchul (www.Kompasiana.com/nisasan) pada halaman 121. Pak Taryat beserta istri awalnya tak terpikirkan berwirausaha. Usaha memhuat coklat terbetik sejak sang istri yang mundur dari pekerjaan kantoran. Sebagai penggemar coklat Pak Taryat merasa akan sepenuh hati dalam menjalankan usaha. Bermodal tekad Pak Taryat memutuskan mengundurkan dari kantor. Mereka berfokus pada proses produksi dan pengembangan usaha. Pengembangan inovasi produk dan dukungan modal pinjaman serta pengembangan kapasitas manajemen dari BPTN menjadikan mereka dapat memiliki usaha coklat yang berkembang pesat.
Nah sekarang mari kita lihat satu persatu tokoh inspiratif yang diulas oleh para Kompasianer. Pada halaman pertama Afandi Sido (www.Kompasiana.com/afsee) mengisahkan kesetiaan dari Hanggono Setia yang mendayagunakan kearifan lokal tradisional dalam pengembangan usaha getuk dengan merek Getuk Marem. Sebagai abdi negara di sebuah instansi di Magelang, Â Hanggono pada saat itu menyadari bahwa jaminan pensiun belum memberi ketenangan masa depan. 10 tahun sebelum masa purnabhakti dengan metode Amati Tiru Modifikasi (ATM), Hanggono beserta istri membuka usaha produksi getuk (camilan dari ketela pohon) dengan merek "marem" (bahasa Jawa: puas). Persaingan dengan merek lain terutama dengan Trio, dimana sang pemilik merupakan pembeli utama mesin adonan membuat getuk karya ayahanda Hanggono. Kala itu dengan pinjaman modal Bank BTPN, mereka mengalami masa kesulitan dalam pengembangan pasar. Dalam kegalauan tetap usaha berjalan dengan perubahan inovasi kemasan. Perubahan terobosan pemasaran, Â menjadikan Getuk Marem dapat berproduksi stabil dan mulai diperhitungkan para kompetitor. Hal ini tentu saja berkat prinsip berani mengambil risiko tanpa mengikuti teori ekonomi. Keberanian bereksperimen dengan bahan ketela dari banyak daerah, Â merekrut karyawan tanpa menuntut surat lamaran, hingga pemindahan basis produksinya, terbukti berbuah manis. Bersama program purnabhakti BTPN, Hanggono telah mengikuti Program Daya Usaha untuk pemberdayaan dan pengembangan wirausaha produktif. Kuncinya berani melangkah, sehingga dalam mengambil tindakan akan muncul keberanian menghitung dan menaklukkan risiko.
Dody Kasman (www.kompasiana.com/dodykasman) pada halaman 15, mengisahkan Milda Fitriawati seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan ijazah Paket C. Sebelum menikah Milda harus putus sekolah tingkat 3 SMEA dan memupuskan harapan menjadi guru. Â Ketika menikah dan sudah punya anak, Â atas dorongan teman dan keluarga akhirnya Milda resmi berijazah Paket C setara SMA. Meski penghasilan cukup, Â Milda mencoba usaha kredit pakaian, seprai dan sejenisnya. Dalam pertemuannya dengan BTPN sebagai nasabah, Milda mendapatkan kesempatan mengikuti program Daya sebagai Kader Kesehatan. Dalam penempatannya Milda bertugas memberikan konsultasi dan penyuluhan kesehatan sebagai upaya pencegahan bukan untuk mengobati. Tak mudah untuk mengubah kultur masyarakat terhadap pola lingkungan kesehatan yang baik. Penghargaan Kader Kesehatan terbaik telah diraih dalam beberapa kesempatan. Milda mengatakan sehat harus berawal dari diri sendiri dan membagikan manfaatnya untuk lingkungan masyarakat sekitar.
Nanang Diyanto (www.kompasiana.com/bunnan) pada halaman 25 mengulas Suwono, yang merupakan pensiunan PNS dari Dinas PU Kabupaten Ponorogo. Setelah pensiun Suwono membuka usaha sedot WC. Orang sering mengolok "Rejekiku soko silitmu". Hasil sedotan tinja tersebut dibuang ke sungai, Â yang menimbulkan banyak protes warga. Karena ingin usahanya mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah, Suwono bereksperimen dengan teknologi sederhana penjernihan air limbah tinja. Ketika air jernih ini dibuang ke sawah, justru keajaiban berupa tanaman padi yang jauh lebih subur dan hijau. Untuk memastikan kualitas padi, Â Suwono sampai mengirimkan sampel untuk diperiksa ke Laboratorium UGM dalam menjawab keraguan diri sendiri, keluarga dan masyarakat umum. Dengan ketekunan pengolahan air limbah tinja yang diaplikasikan pada areal pertanian sebagai pupuk organik, menjadikan beras dan katul organik Suwono menarik minat pecinta makanan organik. Kandungan gizi katul lebih tinggi dari beras, menjadikan buruan orang yang sedang mengalami gangguan kesehatan. Padahal produk tersebut tidak diiklankan di media massa, hanya dari mulut ke mulut. Semua ini tentu saja didukung dengan permodalan BTPN yang memfasilitasi setiap kegiatan termasuk pembinaan kelonpok petani yang menjadi nasabah. Menurut Suwono seharusnya Indonesia dapat swasembada pangan bila pola cocok tanamnya benar.
Hadi Santoso (www.kompasiana.com/hadi.santoso) pada halaman 37, mengulas Anik Sriwatiah warga kawasan Dupak Bangunsari Surabaya. Kawasan ini identik sebagai lokalisasi di Surabaya selain Dolly/Jl.Jarak, Kremil, Moroseneng. Pendapatan warung makannya sangat luar biasa besar dengan lalu lalang tamu pelanggan. Namun Anik sadar akan bahaya negatif mengintai yang dapat mengancam masa depan putrinya. Ketika Pemkot Surabaya hendak menutup lokalisasi pada tahun 2012, Anik termasuk yang berani lantang mendukung penutupan lokalisasi Dupak Bangunsari, meski benar-benar sempat dimusuhi tetangga yang kuatir kehilangan pendapatan. Ketika penutupan direalisasikan, warungnya langsung mengalami penurunan omzet drastis. Namun Anik tak kuatir karena telah mengikuti program ketrampilan memasak, menjahit, hingga membuat kerajinan. Tanpa patah semangat, Anik berhasil mengajak beberapa mantan mucikari dan PSK untuk turut serta dalam pelatihan. Dengan bantuan permodalan Pemkot Surabaya, mereka berhasil mendirikan rumah kreatif tempat produksi aneka kerajinan. Keberhasilannya ini membuat Anik ingin menularkannya ke warga Jl. Jarak/Dolly. Namun tak semudah yang diperkirakan dalam berbagi ilmu disana, yang nyaris mati dikeroyok warga. Ekspansi usaha baru pun didapat dengan penyediaan katering bagi lansia yang menghuni Liponsos Surabaya. Semua ini harus diawali prinsip bukan soal bisa atau tidak, Â melainkan mau atau tidak untuk berubah.
Agung Budi Santoso (www.kompasiana.com/trojanganjen) pada halaman 67, mengulas Siti Rochanah asal Semarang yang membuka usaha kue kering, roti dan varian baru panganan crispy berbahan baku ikan wader dan udang. Panganan crispy dengan merek "Iwak Nyuzz" mendapatkan rintangan dalam hal pemasaran produk pada awalnya. Masa sulit selama sebelas sebelas tahun, produk Iwak Nyuzz mulai dikenal di kalangan menengah atas dan pasar modern. Keberhasilan ini tak terlepas peranan program Daya BTPN. Pemasarn pun telah merambah lewat dunia digital. Produk Iwak Nyuzz telah menjadi produk unggulan daerah dalam mewakili pameran tingkat nasional.Â
Singgih Swasono (www.kompasiana.com/satejamur) dalam halaman 75, mengulas Slamet Akhmad Mukhyidin (65 tahun) berprofesi sebagai tukang bangunan yang berdomisili di Purwokerto. Aktivitas mengelola Bank Sampah Bintang Sembilan, menjadikan kesehariannya bertambah menjadi pejuang lingkungan hidup. Program pemberdayaan masyarakat selalu ada pro kontra. Dengan sosialisasi intensif komunitas bank sampah telah melebarkan sayap di banyak Purwokerto. Pilihlah sampah sejak di rumahmu jadikan sampah menjadi berkah, Â jangan tunggu jadi musibah.
Hendra Wardhana (www.kompasiana.com/wardhanahendra) dalam halaman 81, mengulas Supriyanto (37 tahun) pengrajin batik kayu asal Bantul Jogja. Kerugian besar akibat legagalan produksi, sempat membuat langkahnya tertatih. Setelah mengikuti pelatihan Daya BTPN, Supriyanto mulai bangkit dengan sungguh-sungguh. Akses pemasaran pun mulai merambah media digital Pasar Daya BTPN di www.bukalapak.com/pasardaya. Â
Dhanang Dhave (www.kompasiana.com/dhave) pada halaman 103, mengulas sosok Munadji pensiunan guru agama di sebuah SD kota Salatiga. Munadji prihatin terhadap minat generasi muda untuk aktif dalam bidang pertanian dan perikanan. Munadji mulai menggerakkan pemuda dalam kelompok tani yang murni usaha pemberdayaan tanpa teralifiasi ormas tertentu. Masa pensiun Munadji dilalui dengan menciptkan lapangan pekerjaan baru dengan program berkelanjutan dari BTPN.Â
Isroi (www.kompasiana.com/abimosaurus) dalam halaman 117, mengulas Dominggus Nones (41 tahun) petani pala & kelapa asal Halmahera yang hanya mengenyam pendidikan SD. Dominggus didaulat menjadi ketua kelompok Tani yang beranggotakan 1205 orang, setelah kelompok ini tersertifikasi standar pala organik dari Departemen Peetanian AS. Omzet kelompok tani ini dari biji pala organik mencapai Rp 31,5 milyar per tahun. Total petani yang tergabung saat ini mencapai 3505 orang.Â