Kamu berlalu-lalang, aku diam.Â
Mengingatmu sebagai yang terindah dan berusaha ku buang dalam peti.Â
Sedetik tak terhitung nilai.
Saat berpesta dalam sepi, sampai tiada warna warni.
Seperti itulah rasanya. Dan kamu pergi.Â
Saat melamun, tetiba kamu menepuk punggungku sambil berujar,"kenapa berhenti?"Â
Sekali lagi, kembali lagi.
Terpasung, terperangkap dalam sayu matamu itu.
Saat satu asa yang diucap begitu berarti.Â
Lalu aku tak punya alasan lagi.
Maka aku sanggupi.
Basahi bahuku dengan air matamu lagi.Â
Dan akhir yang kita pilih akan berpihak pada hati.
Dan percayalah kita bersama lagi, mengulang lagi.
------
#1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H