Singapura - Ada sekitar 5 hingga 7 orang berada di paddock itu. 3 orang di antaranya sibuk mengurus perakitan dan sisanya melakukan pengecekan program dengan komputer jinjing mereka masing-masing. Tidak ada yang tak sibuk hari ini. Bau karet hangus yang khas di bengkel-bengkel seperti menjadi lagu pengiring kesibukan mereka, satu per satu peralatan dicek ulang agar mereka bisa lolos dari uji kelayakan agar bisa bertanding esok hari.
Ada sebanyak 26 tim dari Indonesia yang ikut bertanding di kompetisi tahunan Shell Eco Marathon ini, seluruh tim menjadi peserta di beberapa kelas yang berbeda. Ajang tahunan kali ini digelar di Changi, Singapura. Setiap tahun Indonesia memang selalu menurunkan putra putri terbaik mereka dalam kompetisi ini, bahkan 2016 lalu tim Bumi Siliwangi Team 4 dari Universitas Pendidikan Indonesia meraih gelar juara dan mendapat kesempatan 'berguru' di kandang Ferrari.
Kompetisi bertajuk Eco-marathon dicanangkan oleh Shell ini membuat cukup banyak teknologi terapan. Anda tahu teknologi Idling Stop System yang diadopsi oleh Honda? Ternyata cikal bakal teknologi ini juga berasal dari kompetisi Eco-marathon ini. Hal ini dikemukakan oleh Norman Koch, General Manager Shell Eco Global dalam acara penyambutan media pada Selasa, 15 Maret 2017 malam kepada tim Kompasiana.
Menurutnya, ide teknologi tersebut muncul sekitar tahun 1980-an dan baru diaplikasikan beberapa tahun belakangan.
“Ada teknologi di mana kendaraan dapat mematikan mesinnya secara otomatis ketika berhenti sesaat di lampu merah. Kemudian jika gas kembali dibuka maka mesin kembali menyala. Itu adalah salah satu ide teknologi yang muncul dalam ajang ini, tapi memang baru bisa digunakan dalam industri beberapa tahun belakangan,” kata Koch ketika berbincang dengan saya.
![GM Shell Eco Global, Norman Koch. Dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/16/img-20170315-204038-hdr-58ca46b056937312746d6b00.jpg?t=o&v=770)
Kompetisi Shell Eco-marathon ini memang dicanangkan agar demi menghadirkan lingkungan yang seimbang. Sebagaimana kita tahu bahwa jumlah bahan bakar fosil kian merosot, karena itulah dibutuhkan energi alternatif sebagai pengganti atau setidaknya ada sebuah teknologi yang membuat bahan bakar menjadi lebih efisien demi menekan jumlah penggunaan bahan bakar fosil.
Ini memang menjadi sebuah desakan di masa kini, bagaimana bahan bakar organik bisa menjadi penyeimbang dan mendorong untuk hadirnya bahan bakar ramah lingkungan dan terbarukan. Inilah yang menurut saya menjadi sebuah tantangan bagi para akdemisi dan para mahasiswa untuk ikut serta dalam sebuah “upaya penyelamatan lingkungan” ini.
Jika berbicara soal lingkungan, perubahan iklim di bumi menjadi hal yang tidak bisa dielakkan. Perubahan ini juga memberi tantangan tersendiri pada dunia yang harus mengubah alur kebutuhan energi mereka menjadi rendah emisi dan rendah karbon. Inilah kebutuhan masa depan. Dan Shell Eco-marathon ini bisa menjadi batu loncatan yang sangat baik untuk membuat lingkungan yang lebih baik.
![Tim Indonesia di gelaran Shell Eco-marathon 2017. Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/16/img-20170316-104433-hdr-58ca46eb56937311786d6afc.jpg?t=o&v=770)
“Dalam waktu dekat dunia akan membutuhkan adanya produksi massal mobil bertenaga listrik dari baterai yang harganya terjangkau. Selain itu, dibutuhkan juga kendaraan listrik yang menggunakan sel bahan bakar hidrogen dengan jarak tempuh yang lebih jauh dan pengisian bahan bakar yang lebih cepat. Infrastruktur pendukungnya pun perlu dibangun dan yang terpenting, para pengguna kendaraan harus berpartisipasi dalam perubahan ini,” kata John.
![Tim Indonesia di gelaran Shell Eco-marathon 2017. Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/16/img-20170316-104636-hdr-58ca4713729373fa160e2a8c.jpg?t=o&v=770)
![Tim Indonesia di gelaran Shell Eco-marathon 2017. Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/16/img-20170316-110104-hdr-58ca471ed77a61ab1bf080d1.jpg?t=o&v=770)