[caption caption="pengemudi taksi konvensional berunjuk rasa. Sumber : kompas.com"][/caption]Carut marut sekali melihat transportasi di Indonesia ini. Belum lama masalah metromini dan kopaja menyeruak. Kemarin pagi, sopir taksi berdemo! Besar-besaran pula. Bikin Jakarta semakin macet dan akibatnya prduktivitas kita berkurang karena terlambat datang ke kantor.
Lebih memprihatinkan lagi melihat kondisi demonstrasi yang kemarin berjalan. Aksi anarkistis tidak bisa terelakan, oknum-oknum sopir memperlihatkan bagaimana arogansi mereka. Memukuli sopir lain yang tetap memaksa bekerja dan tidak ikut unjuk rasa dengan dalih solidaritas.
Padahal sehari saja mereka tidak narik, keluarga di rumah akan makan apa? Lalu di mana bentuk solidaritas itu? Mungkin mereka menegakkan solidaritas dalam kesusahan. Satu rasa sama rata, satu susah semua wajib susah. Padahal sebenarnya bukan seperti ini bentuk solidaritas yang nyata.
Kemudian beredar di media sosial video bagaimana tindak tanduk para sopir ini di ruas-ruas jalan. Bagaiamana mereka memukul pengendara ojek daring (online) yang jelas tidak ada kaitannya dengan masalah mereka. Mereka sok gagah, sok menghukum, sok benar, seolah menjadi hakim tanpa dukungan pasal.
Video yang beredar di media sosial itu tentu membuat kita semakin benci menghadapi pengemudi taksi konvensional. Tentu saja saya sendiripun merasa muak mendengar kelakuan mereka selama ini. Beberapa kali rekan saya bercerita tentang pengalaman buruknya menggunakan taksi argo. Mulai dari argo kuda, sikap pengemudi yang angkuh, hingga pilih-pilih penumpang dan trayek.
Namun ada satu hal yang harus digaris bawahi, kita tidak bisa mengeneralisasi atau memukul rata sikap beberapa orang oknum menjadi satu statement keseluruhan. Ya, maksud saya tidak semua sopir angkutan konvensional bertindak arogan seperti yang terlihat dan menjadi viral di media sosial.
Saya adalah salah satu pengguna taksi daring. Aplikasi Uber dan GrabTaxi terinstal di smartphone saya sejak beberapa tahun lalu. Memang selain selain harga yang ditawarkan jauh lebih murah, menggunakan Uber dan Grab juga sangat mudah. Kita tinggal klik dan taksi datang lebih cepat. Beda dengan ketika kita melakukan booking taksi konvensional melalui telepon. Selain responnya lama, kadang saya juga tidak mendapatkan taksi dalam waktu yang cepat.
Para sopir angkutan berdalih bahwa taksi daring ini memakan pasar mereka. Merebut pelanggan hingga mereka merugi besar-besaran. Padahal nyatanya tidak. Jujur, sebelum ada Uber dan GrabTaxi saya jarang sekali naik taksi konvensional. Tentu saja karena terbentur masalah harga. Saya lebih baik naik motor atau ojek yang jelas-jelas lebih murah.
Tapi ketika Uber dan Grab hadir, ada satu kesempatan baru bagi orang seperti saya yang jarang naik taksi, untuk merasakan kenyamanan angkutan roda empat ini. Tentu saja tanpa terhadang ongkos yang mahal. Jadi, menurut saya Grab dan Uber ini malah menciptakan pasar baru. Bukan merebut pasar taksi konvensional.
Kembali ke soal kelakuan pengemudi taksi konvensional. Memang benar yang terlihat di media sosial dan televisi adalah sikap arogan yang tentu saja membuat muak. Tapi di sisi lain, masih banyak pengemudi yang santun, baik, dan tidak seperti yang ditampilkan di televisi.
Rekan saya pernah bercerita, kala itu ia menggunakan jasa taksi "burung biru" untuk mengantarnya ke satu lokasi. Ketika itu secara tidak sadar handphone dan beberapa dokumen penting tertinggal di taksi yang membawanya. Ia sadar ketika sudah berada di lokasi dan betapa paniknya rekan saya. Pasrah, itulah yang dilakukan sahabat saya ini. Ia sudah menelpon pihak taksi yang bersangkutan namun tidak diberikan jaminan barang-barangnya akan kembali. Tapi beberapa hari kemudian ada kurir mengantarkan dokumen dan handphone itu pada rekan saya tanpa kurang satupun. Ya, ternyata masih ada pengemudi baik hati seperti beliau.