Mohon tunggu...
Pratiwi Wulandari
Pratiwi Wulandari Mohon Tunggu... -

seseorang dengan pemikiran sederhana dan berharap kesederhanaan pikiran tersebut dapat ditransformasikan ke dalam aksi nyata. saat ini sedang menimba ilmu di FH UGM

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wanita Tua Penjual Kelapa Muda dan Ubur-ubur

22 Juli 2011   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:29 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu siang di Parangtritis, matahari panas menyengat menembus kaos lengan panjangku. Anginnya kencang, cukup kencang untuk menerbangkan pasir hingga saya harus menyipitkan kedua mata saya agar tidak kemasukan pasir itu. Sepintas saya merasa seperti ada di tengah badai pasir di sebuah gurun yang panas dan tandus, hanya saja di depan saya laut, bukan oase.

Cuaca yang sangat panas itu menggoda saya untuk menikmati kelapa muda yang banyak dijual di sepanjang pantai. Warnanya hijau. Saya dapat membayangkan isi daging kelapa tersebut. Manis, dan kalau beruntung saya akan mendapatkan kelapa yang dagingnya masih sangat lunak

Saya akhirnya memutuskan membeli kelapa di sebuah gubuk kecil yang sepi pembeli. Penjualnya ternyata seorang ibu tua, tapi belum nampak renta. Garis-garis kerutan tampak jelas di wajahnya. Badannya tidak kurus, tapi juga tidak begitu gemuk. Sepintas tidak ada yang istimewa dari ibu itu.

Ketika saya sedang menyeruput air kelapa langsung dari batoknya, dari kejauhan saya melihat seorang anak kecil beserta ayahnya berjalan ke arah depan saya. Anaknya tampak menggigil. Kedinginan sepertinya. Tanpa sadar saya jadi memperhatikan ayah dan anak itu. Mereka makin mendekat dan saya mulai menyadari sepertinya anak itu bukan menggigil karena kedinginan. Saya melihatnya seperti orang yang menggigil karena demam. Rupanya ibu penjual kelapa di sebelah saya pun memperhatikan mereka.

“ Pak, anaknya kenapa?” Tanya ibu penjual kelapa setengah berteriak

“Anu bu, kena ubur-ubur” jawab bapak itu seraya menghentikan langkah sebentar. Saya memperhatikan anak tersebut, ternyata di punggungnya sudah terdapat semacam luka memerah. Seperti bentol, tapi panjang.

“ Owalah, cepet kasih kopi panas pak, atau suruh diarebahan diatas pasir panas” saran ibu tersebut. “ paling bagus dikasih lombok (cabe,-red) tapi gak ada disini”

“ Oooh gitu ya bu?” tanpa menunggu lama bapak tersebut menyuruh anaknya merebahkan diri di atas pasir di belakang gubuk milik ibu tersebut. Si anak dengan muka tersiksa menuruti perintah ayahnya. Tubuhnya menggeliat ketika pasir panas itu menyentuh kulit punggungnya.

Ibu penjual kelapa itu dengan sigap membuat kopi panas di plastik bening dan membuka sebuah kelapa hijau. Lalu ia tergopoh-goboh menyerahkan kelapa beserta kopi dalam plastik kepada bapak tersebut. Samar-samar saya mendengar ibu itu berkata, “ ini pak kopinya, dan ini kelapa mudah-mudahan bisa ngilangin sedikit racun ubur-uburnya”

Tadinya saya pikir kopi itu untk diminum. Ternyata tidak. Kopi yang diwadahi plastik itu ditempelkan pada punggung yang terluka. Anak itu terlihat kesakitan. Setelah itu anak tersebut meminum air kelapa yag disodorkan oleh ayahnya. Ekspresinya mulai terlihat agak tenang. Mungkin sakitnya sudah mulai berkurang. Ibu itu tersenyum sambil mengacak-acak pelan rambut si anak lalu kembali ke gubuknya.

Tak lama ayah anak tersebut menghampiri ibu penjual kelapa. Ia berniat membayar kopi dan air kelapa yang tadi diberikan oleh si ibu. Namun ibu itu menolaknya. “ tak usah pak, saya ikhlas kok menolong anak bapak” jawabnya sambil tersenyum. Ayah tersebut memaksa, tetapi ibu penjual kelapa bersikukuh menolaknya. Akhirnya si ayah hanya bisa mengucapkan terima kasih pada ibu tersebut.

Sejenak saya terpana. Saya tak habis pikir, bagaimana seorang ibu tua penjual kelapa muda yang sepi pembeli itu bisa-bisanya menolak sejumlah uang yang dibayarkan atas barang dagangannya. Padahal saya tahu, ibu itu sangat membutuhkan uang tersebut.

“ Kenapa ditolak bu?” tanya saya penasaran

Ibu itu menoleh kepada saya, “ Saya yang memberikan kelapa itu kepada bapak tadi tanpa bapak itu memintanya, mosok saya memberi tapi meminta bayaran?” sahutnya tanpa beban. “lagipula saya memang berniat menolong anak tersebut”

Saya hanya tersenyum. Kagum akan keikhlasan menolong seorang wanita tua penjual kelapa muda di pesisir pantai yang hidupnya jauh dari berkecukupan dan masih sempat berpikir tentang orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun