Mohon tunggu...
Pratiwi Wulandari
Pratiwi Wulandari Mohon Tunggu... -

seseorang dengan pemikiran sederhana dan berharap kesederhanaan pikiran tersebut dapat ditransformasikan ke dalam aksi nyata. saat ini sedang menimba ilmu di FH UGM

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lara Lana

29 Juni 2011   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:04 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lana memandangi secarik foto di tangannya. Tampak disitu dirinya bersama rufi berpose dalam gaya formal. Kebaya hijau yang dikenakannya tampak serasi dengan kemeja putihrufi. Helaan nafas lana lirih terdengar. “ah andai kamu tak sebodoh itu Rufi..”

Foto itu adalah foto terakhirnya bersama rufi. Diambil saat pernikahan diva, kakak lana. Keduanya tersenyum bahagia. Tampak serasi. Saat itu lana tidak menyangka bahwa beberapa jam kemudian semuanya akan berubah.

Tanpa sadar, airmata lana menetes lagi

****

Ruf rufi

Sebuah akun facebook asing mengejutkan lana. Napasnya tertahan. Tangannya menggerakkan kursor ke link bertuliskan wall. “Tak mungkin,” batin lana. Hatinya mulai dilanda kekhawatiran, akhirnya kursor berpindah ke info. Ia mencelos. Benar, ini akun rufi.

Handphone rufi hampir jatuh dari tangannya yang gemetar. Matanya nyalang melihat status-status dan pesan di akun tersebut. Farah, farah, farah, semuanya tentang farah. Pandangannya beralih menuju rufi yang duduk disampingnya. “apa maksudnya ini ruf?” Tanya lana dengan emosi yang sebisa mungkin ia redam. Rufi menggeser posisi duduknnya sedikit. Wajahnya menunduk tak berani menatap lana. “apa maksud semua ini Rufi Julian?” Tanya lana sekali lagi, kali ini dengan sedikit penekanan. Rufi menelan ludah. “akun facebook aku” jawabnya lirih. Rufi merasa tak ada gunanya berbohong.

Lana menghempaskan dirinya ke sandaran sofa. Ia menarik napas panjang. Kekecewaan seketika melanda dirinya. “maaf..” rufi berujar lirih “aku ngga bermaksud ngebohongin kamu”.

Sebisa mungkin lana menahan diri agar tidakmeledak. Rumahnya masih ramai oleh saudara-saudaranya. Ia tak ingin pertengkaran ini diketahui oleh yang lain terutama mama papanya. Lana melirik jam dinding yang tergantung di dekat tv. “udah jam 9, nanti kamu kemaleman, gak dapet bis”

Rufi menatap lana, mencoba melihat ke dalam mata lana. Ia sadar kehadirannya sudah tak diharapkan lagi saat ini. “iya, tolong ambil tas aku di kamar” katanya pada lana. Lana berdiri menuju kamarnya. Tas rufi ia taruh di kamarnya karena tempat lain sudah penuh dengan barang beraneka rupa. Tak lama ia menyerahkan tas itu pada rufi.

Setelah berpamitan pada seluruh anggota keluarga lana, rufi pun pulang. Cirebon-jakarta, perjalanan yang harus ia tempuh malam ini. Lana mengantarnya sampai ke gerbang rumah. “aku pulang ya” pamit rufi. Lana hanya mengangguk. Tak ada pelukan, tak ada kecupan.

Lana masuk ke dalam rumah dan langsung mengurung diri di kamar. Untung tak ada yang memperhatikan. Semuanya lelah hingga tak ada yang menyadari perubahan mood lana. Airmata lana menetes tanpa ia kehendaki. harusnya aku tau, cinta sejati rufi hanya untuk farah. Sang mantan tersayang

Handphone lana bergetar, 1 message received. Rufi, segera lana buka:

Aku minta maaf banget. Aku gak mau nyakitin kamu lagi

Tidak lana balas.

****

Hari-hari lana berlalu dengan tidak wajar. Ia bisa tersenyum pada orang-orang, namun begitu ia mempunyai waktu sendiri, airmatanya menetes lagi. Lana marah. Lana kecewa. Lana merasa dikhianati. “apa artinya selama dua tahun ini kita long distance?” pikirnya ngilu.

Dua tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk sebuah long distance relationship. Dua tahun yang mampu merubah hidupnya. Dua tahun yang penuh tawa dan emosi. Jakarta-cirebon, 5 jam perjalanan. Lalu Jakarta-jogja, 10 jam perjalanan. Lana bangga sekali karena hubungan mereka bisa berlanjut dengan jarak yang begitu jauh. Ia sadar itu semua juga tak lepas dari peran rufinya. Namun sekarang, apa artinya semua itu?

Ingatannya melayang pada masa sebelum mereka sepakat untuk memulai LDR ini. Saat itu ia bertanya dengan ragu pada rufi, “yakin LDR? Nanti kamu bisa leluasa selingkuh dong..” Rufi hanya tertawa. Lalu tawanya berhenti ketika lana mulai mengomel, “ aku serius rufi.. jangan ketawa dong!”

Rufi pun berhenti tertawa dan menjawab dengan serius “sekarang gini deh, apa kamu mau ngelepasin sesuatu yang udah susah payah kamu dapetin cuma buat hal-hal bodoh dan kamu tahu itu salah?”

Saat itu lana tahu bahwa dia sudah jatuh pada rufi.

Lana mendesah

ah kenapa sekarang kamu malah melakukan hal bodoh itu ruf..

****

entah sudah berapa banyak telp dan sms dari rufi yang kesemuanya tidak lana balas. Hatinya masih hancur. Memang hanya sebuah akun facebook. Tapi bukan itu masalah terpentingnya. Kepercayaan, satu hal yang selama ini benar benar ia jaga untuk rufi. Fondasi terkuat untuk membangun sebuah hubungan, terutama hubungan jarak jauh.

‘Tapi sekarang fondasi itu sudah hancur..’pikir lana sedih. Ia tidak yakin apakah hubungannya dengan rufi masih bisa bertahan. Jangankan untuk itu, untuk percaya saja ia ragu.

Handphonenya bordering. Rufi is calling.. lana terdiam sejenak sambil memandangi layar handphonenya. Entah kenapa kali ini hatinya menyuruhnya untuk menerima panggilan itu. Terlambat, handphonenya sudah berhenti berdering. Lana menunggu handphonenya berdering lagi.

Rufi is calling..

Ragu ragu lana menjawab. “halo,” suaranya parau.

Terdengar suara lega di seberang, “lana please jangan matiin telepon lagi.. aku mau ngomong, please..”

“ngomong aja”

“aku minta maaf lana, aku minta maaf.. aku ngga bermaksud bohong sama kamu, aku cuma ngga cerita sama kamu”

“oh”

Lana mematikan telp

Telp berdering lagi

“ halo lana kenapa dimatiin telpnya? Kamu dimana sekarang?”

“di rumah tante”

“yauda sampe ketemu yaa”

Telp dimatikan.

What? Apa? Sampe ketemu? Apa maksudnya? Jangan-jangan.. ah ngga mungkin, pikir lana

Lana membuang pikiran konyolnya. “Ya ngga mungkinlah,” kata lana dalam hati, dia di Jakarta.. lana menertawai kebodohannya sendiri. Konyol, ngga mungkin rufi ada di Cirebon. Lalu lana memandangi bunga soka yang dulu ia tanam ketika ia masih tinggal disitu. Mekar, merah. Cantik

Tiba tiba terdengar suara derum motor memasuki halaman rumah. Lana menoleh. Ngga mungkin. Tapi memang itu rufi. Dengan legendanya dan masih dalam pakaian kerja. Nekat sekali, pikir lana. Rufi melepas helmnya dan tersenyum pada lana. Betapa ingin lana berlari dan memeluknya lalu bilang ‘I miss you, I miss you, I miss you’. Tapi kekecewaan masih menguasai dirinya, yang keluar dari bibir lana malah..

“kamu? Ngapain disini?”

Rufi tersenyum dan mendekat kearah lana. “mau ketemu kamu lah” lalu rufi memeluknya. Ah betapa lana rindu pelukan ini. Tapi dengan segera lana melepaskan pelukan itu. Rufi mengernyit dan memandangnya. Sekilas kekecewaan terlihat di raut wajahnya.

“aku tau kamu masih marah banget sama aku. Aku tau aku salah banget. Aku minta maaf lana..” kata rufi. “aku sayang banget sama kamu, aku gak mau keilangan kamu..”

“stop ruf, aku ngga mau denger penjelasan apapun. Semuanya udah jelas” potong lana

“loh ada rufi” tante tiba tiba keluar dari dalam rumah. Sedikit terkejut melihat kehadiran rufi. “ ko ngga masuk?”

“disini aja dulu tante” jawab lana buru-buru.

“oh ya udah tante bikin minum dulu ya” kata tante sambil melangkah masuk

“ngga usah repot-repot tante” kata rufi, khawatir kedatangannya merepotkan tante lana.

“ah ngga kok” jawab tante sambil tersenyum. “lanjutin aja ngobrolnya, nanti minumnya tante taruh di dalam ya”

Sepeninggal tante, rufi dan lana terdiam. Kecanggungan jelas terasa saat itu. Lana memandang rufi sekilas. Wajah berminyak dibalut dengan kemeja kantor dan dilapisi jaket touring. Sebersit rasa haru menyelinapdalam hatinya. Tapi.. lagi lagi kekecewaan itu menguasai

Rufi menggeser posisinya ke hadapan lana. Perlahan ia berjongkok di hadapan lana dan memegang lembut tangannya. “aku benar-benar minta maaf lana, aku menyesal..” terlihat kesungguhan di mata rufi

Lana tak bergeming. Macam macam emosi bergejolak di dadanya. Rufi, betapa ia menyayanginya. Tapi rufi tega membohonginya. Tapi lihat, sekarang dia disini, di hadapannya. Ia menempuh ratusan kilometer demi dirinya. Dengan motor tuanya, dengan baju kantornya, menandakan ia langsung berangkat dari kantornya tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu.

“ kasih aku satu alesan biar aku ngga benci sama kamu”

Rufi menghela napas, dan mulai bicara. “please lana, kalo aja kamu tau kenapa aku ngga cerita soal facebook yang itu, kadang aku juga coba cari waktu yang pas buat ngomong ke kamu, maaf aku gak mau nyalahin lana, tapi kadang kamu terlalu sibuk sama urusan kamu..”

Alah alasan, pikir lana

“..kamu masih inget kan seberapa sering aku minta kamu untuk care banget ke aku. Kamu tau kan aku ngga begitu deket sama keluarga aku? Aku kesepian lana..”

Perlahan rasa sesak mulai memenuhi dada lana lagi. “lalu kamu pikir dengan begitu kamu bisa melakukan itu?!” kata lana setengah berteriak. “dan soal farah, apa alesan kamu?! Kamu masih sayang kan sama dia?! Kamu ngga pernah sayang sama aku kan?! Kamu cuma jadiin aku pelarian kan?!!” sumpah demi apapun, lana benci setengah mati ketika menyebutkan nama itu.

“ oke aku emang salah banget soal fb itu, salah banget, aku minta maaf. Aku nyesel banget. Dan soal farah, aku salah lagi.. aku, aku masih pengen banget bales sakit hati aku ke farah..”

Lana melengos. Airmata mulai jatuh di wajahnya. Cepat ia mengusapnya. Ia tak mau terlihat cengeng di hadapan rufi. Lalu dengan sinis lana berkata, “aneh banget cara kamungebales sakit ati. Kalo aku jadi farah, wow aku bakalan tersanjung banget”

Sebisa mungkin lana tahan agar airmatanya tak lagi keluar. Betapa ironis, pikirnya. Rufi membalas sakit hatinya dengan cara yang sangat manis dan membalas rasa sayang lana dengan pahit.

Rufi didera perasaan bersalah yang amat sangat. Perlahan diraihnya kedua pipi lana dengan lembut. Dengan pandangan memohon ia berkata, “kalo emang ada cara buat perbaikin semua, aku bakalan lakuin lan,kasih aku satu kesempatan lagi..”

****

Semalaman lana tidak bisa tidur. Ia berpikir apakah hubungannya dengan rufi masih pantas dipertahankan atau tidak. Begitu banyak hal yang telah mereka lalui bersama. Lana pun tidak bisa memungkiri bahwa ia masih sangat sangat menyayangi rufi. Bahkan ia menyayangi rufi lebih dari apa yang ia sendiri inginkan.

Lana melirik ke kamar tengah yang pintunya setengah terbuka. Rufinya tengah tertidur dengan pulas. Setelah tadi dibujuk oleh tante, akhirnya rufi mau menginap. Yang berarti lana pun harus menginap dirumah tantenya, di kamar yang berbeda tentu.

Ia ingat percakapankecilnya dengan rufi, waktu itu ia berkata “kamu yang nyembuhin luka hati aku ruf, jadi aku bakalan marah banget kalo suatu hari nanti kamu nyakitin aku” dan sekarang itulah yang terjadi. Lana terluka, jauh lebih dalam daripada luka sebelumnya.

Tapi ia harus memutuskan..

****

Paginya lana terbangun dengan kepala sedikit pusing. Ia baru bisa tidur ketika jam menunjukkan jam 4 pagi. Rufi sudah bangun terlebih dahulu. Ia pergi ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan menggosok gigi.

Rufi sedang duduk di teras depan ketika lana selesai. Ia menyapa lana dengan senyum dan menyuruh lana duduk disampingnya. Suasana pagi itu ramai karena memang hari itu hari sabtu dan rumah tante berada di pinggir jalan yang ramai dilalui angkot dan anak anak yang berangkat sekolah.

“tante mana?” Tanya lana menyadari ia tak melihat tantenya sedari tadi

Rufi mengangkat bahunya, “tadi sih bilangnya mau cari sarapan”

“oh”

Lama tercipta jeda antara mereka. Sungguh lana benci keadaan seperti ini. Ia tak keberatan jika jarak memisahkan mereka, tapi ia tak ingin jarak memisahkan hati mereka. Lana pun tahu pasti rufi merasakan hal yang sama

“aku harus pulang pagi ini” kata rufi pelan. “sekarang aku serahin keputusan itu di kamu lana”

Lana tersentak. Ia tahu rufi harus pulang pagi ini. Tapi mengapa berat rasanya. Ia tahu pasti ia masih sangatmenyayangi rufi, tapi..

“kamu yakin kita masih bisa lanjut?” Tanya lana ragu

Rufi menatap lana dalam, “dari aku ya, aku tinggal tunggu keputusan kamu”

Lana membuang pandangannya kemana saja asal jangan ke rufi. Ia tidak pernah bisa dipandangi seperti itu. Hatinya sangat bimbang. Kata orang suara hati adalah suara yang paling jujur dan akan membawa kita pada jalan yang tepat. Tapi lana tak ingin hatinya menutup logika yang ia punya. Tuhann.. aku harus bagaimana?

Pandangan rufi masih tertuju pada lana. Ia tahu lana sedang bimbang. Namun sungguh, rufi menyesal atas tindakannya. Ah bodoh sekali aku..

Akhirnya lana berkata, “aku ngga tau aku masih bisa percaya apa ngga sama kamu, tapi aku ngga bisa keilangan kamu..

“aku janji aku ngga akan pernah ngelakuin kesalahan bodoh itu lagi..”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun