DIALOG PARA LACUR
Gelap sudah menggagas separoh bumi. Tak lagi malam, ini bahkan kelewat pagi, pagi yang pekat. Sekumpulan manusia lawa masih asik dengan pesta mini mereka. Beberapa botol bir, kartu remi, dan kulit kacang berserakan di atas meja. Permainan sudah selesai, berlanjut pada permainan yang lain lagi.
Kali ini di tengah ketidaksadaran, sekumpulan laki-laki dan perempuan itu tiba-tiba saja saling ingin tumpahkan perasaan. Keterbatasan manusia, sebejat-bejatnya pasti ada satu masa di mana ia ingin didengarkan atas beban dosa yang ia simpan sendiri. Meski orang-orang di sekitarnya sudah terbiasa dengan kebiadaban perilakunya yang entah dengan sadar atau tidak ia lakukan.
Seperti orang-orang Kristen di gereja tempat ibadah mereka, disediakan seorang Bapa untuk mendengarkan pengakuan dosa-dosanya. Selanjutnya ada sedikit, mungkin juga banyak kelegaan di hati mereka. Seolah-olah dosanya bisa terhapuskan dengan pengakuan mereka.
Mungkin jalan inilah yang coba dilakukan oleh sekumpulan laki-laki dan perempuan itu, hanya bedanya, ia mengatakan pengakuannya pada orang yang sama-sama kebak dosa. Saling berbagi kegelisahan, mungkin kalimat itu yang lebih tepat.
“Hidup ini busuk, dan kita biangnya busuk,” Rid, laki-laki kurus dengan bahu yang berbentuk seperti papan segi empat memulai ocehannya.
“Jangan terlalu membusuk-busukkan kelakuan kita, memangnya kamu tahu kita ini siapa satu persatunya?!” seseorang menimpali dengan intonasi lebih tinggi, tanda ia sedang tidak terima dengan kalimat temannya barusan. Tangannya tak henti-hentinya memainkan botol wisky kecil yang sebenarnya isinya tak lebih dari arak murahan yang sudah dioplos dengan bermacam-macam cairan yang kalau tidak berhati-hati bisa membuat nyawanya melayang.
“Ya, kita memang busuk, kok. Lihat orang-orang terang itu, mana mau mereka melihat ke arah gelap, atau ngadeg nang petengan, yang remang-remang saja sudah buat bulu kuduk mereka berdiri.” Kali ini Rodiyah, perempuan manis yang berbicara dengan logat jawanya mencoba membela Rid sambil menggayut manja di lengan lelaki yang membantah kalimat Rid tadi, ikut memberikan persetujuan.
Seorang perempuan lagi dengan tubuh gempal mendekati kekar, duduk di pojok ruangan. Tangannya menggapit sebatang rokok kretek merk murahan, sesekali dihisapnya dalam-dalam lantas menghembuskan asap yang telah disimpannya dalam paru-parunya itu dengan cara anggun, membentuk lingkaran-lingkaran dengan lubang di tengah-tengahnya
Matanya menerawang, kemudian dia mulai mendongeng tentangpemikiran-pemikirannya yang banyak bertentangan dengan ajaran leluhurnya selama ini.
“Hidup itu bukankah memang sudah diatur sama sing Tukang Ngecet Lombok?! Coba kalau di dunia ini yang ada cuma manusia-manusia suci tanpa dosa, itu bukan hidup namanya. Adanya dunia bukankah memang sebagai sarana penyaluran sifat-sifat Tuhan yang aneh itu. Kalau ada orang beringas, Tuhan itu yang Maha Beringas. Buktinya Dia bisa menciptakan manusia-manusia beringas, setengah beringas, dan super beringas. Kalau ada orang kreatif, Tuhan yang Maha Kreatif. Dia menciptakan bumi, lalu membuat manusia mengerti bahwa bumi itu bulat, kemudian sadar kembali bahwa selain bumi, tercipta juga bulatan-bulatan seperti bumi dengan sebuah titik sebagai pusat perputaran yang disebut srengenge, kemudian menamakan sekumpulan benda itu sebagai bima sakti. Tidak cukup sampai di situ saja, kemudian manusia kembali takjub dan ketakutan menyadari bahwa ternyata galaksi yang didiaminya itu hanyalah satu bagian kecil dari galaksi-galaksi yang bertebaran di jagad semesta ini. Apa ndak Maha Kreatif itu namanya?!” Perempuan itu menghisap lagi rokoknya dalam-dalam. Tercenung kembali seolah sedang ikut menyimak setiap tutur katanya sendiri, seperti teman-temannya yang sekarang melongo mendengarnya berfilsafat.