Kepada sepasang mata,
Aku ingin bercerita sebenarnya, tentang hati. Tapi, kau tahu aku punya banyak tapi dengan selangit alasan mengekor di belakangnya. Baiklah, aku tak cukup punya keberanian untuk memulai menulis perihal itu. Tentang perasaan carut marut, kesadaran yang membuat tanganku gemetar, dan mataku yang akhirnya berusaha selalu pejam dan menolak untuk bangun dari kesadaran.
Kau tahu, semakin hari aku semakin sering menyaksikan pahit yang harusnya hanya bisa dirasakan itu. Tapi benar aku menyaksikan, dan aku tersedak membayangkan seandainya ia melekat di pangkal lidahku. Aku ketakutan jika suatu hari pahit itu hinggap dan hendak menyatu di indera pencecapku. Bagaimana mungkin aku sanggup mengenali madu, menikmati gula-gula, bahkan pekat asinnya garam, bila pahit memenuhi lidahku itu.
Dari membayangkan akibat pada diriku itulah, aku gemetaran menyaksikan satu persatu dari kaumku mengecap getah pahit, lengkap dengan getir. Dan aku melihat seolah ia telah terima indera perasanya hampir mati rasa.
Bagaimana aku bisa menulis dengan baik perihal perasaan itu, jika berhari-hari aku dilanda ketakutan untuk memulai mendeskripsikan hal ihwal bertema kemanusiaan. Aku takut membayangkan satu perasaan dalam tubuhku menuntut lebih dari sebuah tulisan, lalu mencibir tidak adanya keberanian untuk menolong yang lain. Aku takut dan tak sanggup.
Sebab itu kuderaikan saja tawa, tanganku mampat. Semua kata yang berhamburan dari goa mulutku itu hanyalah sebuah upaya agar aku tak terlihat menyedihkan. Meski jalan yang kupilih kali ini dengan sendirinya menunjukkan seberapa gamang, seberapa rapuh menghadapi keadaan diri yang ‘hanya’ melihat beberapa orang dihadapannya menelan pahit dengan cara paling elegan.
Jika ada pilihan, aku ingin lari dari tempat ini. menemukan dunia baru, menemukan orang-orang yang tak mengenal kata pedih, kata pahit, dan segala yang menghantuiku itu. Dan pada akhirnya keinginan itulah yang justru mengikatku, mengikatku pada keadaan menyendiri dan meratapi apa yang seharusnya tak kuratapi.
Ini adalah sebuah cerita gagal, dan kau tak perlu memberiku sekotak permen ataupun tepukan lembut di pundakku. Maafkan aku…
#tentangsebuahrasakemanusiaanyanginginkuabaikan
Wan Chai, 01102013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H