Desawa ini, seringkali terjadi kasus perbuatan tak bermoral yang dilakukan oleh manusia, khususnya pada usia remaja, seperti tawuran antar pelajar, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pelecehan seksual, pergaulan bebas, dan lain sebagainya. Jika dicermati, berbagai tindakan tak bermoral ini disebabkan karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang ukuran baik buruknya suatu tindakan jika dipandang dari sisi keagamaan, dan juga karena faktor lingkungan yang mempengaruhinya sehingga diperlukan adanya pendidikan yang berprinsip pada pengembangan nilai-nilai moral dan agama. Dan karena alasan inilah orangtuaku mengirimku ke pesantren, sebuah institusi pendidikan yang fokus pada pembelajaran dan praktek ilmu Islam. Di pesantren, para santri diajarkan ilmu Islam mulai yang paling dasar, yaitu aqidah sampai kepada ilmu praktis seperti fiqih. Santri dibina agar memiliki aqidah yang lurus dan akhlak yang baik yang merupakan bekal penting agar selamat menjalani kehidupan di dunia ini.
Lima belas tahun umurku saat itu, usia menuju remaja. Ibarat bunga, ia sedang mencoba untuk merekah. Ranum, siap dipungut oleh kumbang. Usia yang mulai berkenalan dengan kesadaran genitas. Usia yang memberi kejelasan makna akan takdir laki-laki dan perempuan. Membuka arti perbedaan unsur kelamin yang sarat dengan tujuan penciptaannya. Pubertas ! sebuah istilah yang paling cocok untuk dialamatkan kepada anak seusiaku.
Tepat diusia ini aku dan teman-temanku dikeluarkan oleh sekolah. SMP tempat aku sekolah sudah bosan mendidik aku dan teman-temanku selama tiga tahun. Selesai ujian, pihak sekolah mengusir kami untuk lebih berani menantang hidup di belantara alam yang menuntut kematangan. Tidak saja kematangan genetik, tapi juga psikis dan intelegensi. Sebuah pelepasan yang sarat tantangan, sekaligus kegembiraan.
Lulus dari SMP, tak seperti teman-temanku yang lain yang diberikan kebebasan untuk memilih dimana ia akan melanjutkan jenjang pendidikannya oleh para orangtuanya, aku malah mendapatkan wahyu. Bukan dari Tuhan, tapi dari orangtuaku sendiri. Mereka memerintahkanku masuk pesantren. Sebuah perintah suci yang tak menerima negosiasi. Beberapa kali aku mencoba berontak karena tak siap untuk hidup mandiri tanpa orangtua, namun pada akhirnya, aku pun harus menerimanya. Dan setelah dicoba, akhirnya aku pun mulai kerasan hidup di pesantren, walau kadang sering depresi karena belum adaptasi dengan perbedaan kultur disana. Tapi aku yakin, semua akan berbuah manis. Segala sesuatu pasti ada hikmahnya.
Kisahku dimulai pada suatu pagi saatku berangkat ke sekolah, aku melihat seorang nenek tua yang dengan semangatnya membersihkan madrasah tempat para santri mengaji yang seharusnya tugas tersebut dilakukan oleh para santri. Namun Si Nenek melakukannya dengan penuh suka rela dan senang hati, sedangkan para santri malah dengan sibuknya mencari warung makan untuk memenuhi kebutuhan makannya. Miris aku melihatnya, apalagi setelah mengetahui bahwa Si Nenek adalah seseorang yang mentalnya cukup terganggu. Ironis memang, disaat seharusnya para santrilah yang lebih sensitif terhadap kebersihan karena mereka mempunyai dalil النضفة من الإيمان yang artinya kebersihan sebagian dari iman, tapi mengapa malah Si Nenek tua yang mentalnya terganggulah yang lebih peduli terhadap kebersihan di lingkungan pesantren ? Padahal, apa yang dilakukan oleh Si Nenek pun demi kenyamanan para santri tersebut. Di sinilah, aku mendapatkan pelajaran, bahwa bukanlah jumlah banyaknya ilmu seseorang yang paling utama, tetapi yang terpenting adalah seberapa banyak ilmu tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak sekali ilmu agama yang kudapat di pesantren ini, salah satunya adalah kajian ilmu tentang akhlak yang kaitannya erat sekali dengan moralitas seseorang. Contoh nyatanya adalah ketika aku mendapati kenyataan bahwa tak semua orang yang tinggal di pesantren itu memiliki moral yang baik, justru banyak orangtua santri yang menitipkan anaknya yang bandel di pesantren dengan harapan bahwa putra atau putrinya akan menjadi seseorang yang lebih baik setelah tinggal disana. Hal ini memberikan kesan bahwa pesantren itu sama dengan sebuah panti rehabilitas bagi anak-anak yang bandel yang tidak bermoral. Walaupun memang salah satu tujuan dari pesantren adalah menjadikan para santrinya seseorang yang berakhlak mulia, namun pesantren tetap saja tak bisa disamakan dengan sebuah panti rehabilitas. Karena pesantren memiliki tujuan yang lebih luas dari sekedar panti rehabilitasi, dan sangat berorientasi pada nilai-nilai syariat (agama).
Kenyataan inilah yang membuat citra baik pesantren seakan-akan memudar di mata masyarakat awam, karena mereka hanya melihat dari sudut pandang bahwa pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang bermoral tidak baik, agar mampu dibina menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Anggapan ini juga dikuatkan dengan adanya kasus-kasus kesusilaan yang terjadi di beberapa pesantren akhir-akhir ini. Seperti yang pernah dialami oleh salah satu temanku. Ia sudah menjadi santri di pesantren selama lima tahun saat aku baru memasuki tahun pertamaku di pesantren, saat itu ia terjebak oleh keadaan karena ia mencintai seseorang yang salah. Pada dasarnya temanku ini memiliki akhlak yang cukup baik, namun semenjak ia jatuh cinta pada seorang pria yang tidak tepat, perlahan akhlaknya merosot drastis dan klimaksnya adalah ketika ia ketahuan sedang melakukan tidakan tidak bermoral dengan pacarnya itu oleh pihak keamanan pesantren. Sontak kasus ini menyeruak ke permukaan, seperti membangunkan macan tidur, perbuatan temanku ini membuat para kyai dan ustadz murka. Dan karena tidak terima serta merasa bahwa pesantrennya telah dinodai oleh perbuatan temanku ini, akhirnya temanku ini pun langsung di drop out dari pesantren. Miris sekali aku melihat kejadian ini, melihat temanku sendiri dieksekusi di depan seluruh santri dan diusir dengan tidak hormat dari pesantren karena perbuatannya itu. Dan yang lebih tragis adalah ketika mengetahui bahwa saat orangtuanya diberi kabar bahwa anaknya di drop out oleh pesantren, kedua orangtua temanku ini sedang melaksanakan bimbingan haji bagi para calon haji. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan orangtua temanku ini. Saat mereka berusaha lebih mendekatkan diri kepada Sang Khaliq dengan berniat menunaikan perintahNya, mereka justru mendapati anaknya sendiri malah melakukan perbuatan yang jauh dari ajaran agama, padahal ia tinggal di lingkungan pesantren, sebuah haflah almubarakah yang mengajarkan berbagai ilmu agama.
Di pesantren, aku belajar banyak hal tentang hidup. Banyak juga kisah-kisah yang cukup menyayat hati yang pernah kualami. Namun semua itu nampak indah di mataku sekarang. Aku baru merasakan indahnya hidup di pesantren setelah aku lulus dari pesantren. Aku rindu saat-saat aku berebut mengantri pancuran air untuk berwudlu bersama teman-temanku, berlomba tadarusan, saling menyemangati dalam hafalan, semua terasa indah di mataku. Walaupun kita berangkat dari daerah dan status sosial yang berbeda, namun di pesantren semuanya sama. Aku juga belajar hidup bersosial di pesantren, belajar peduli terhadap sesama, dan belajar untuk tidak mementingkan keegoisan pribadi. Karena tak selamanya keinginan kita harus terpenuhi. Walau kadang sering aku merasa depresi karena lingkungan di pesantren jauh berbeda dengan lingkungan di rumah, namun disinilah aku meraskan arti persaudaraan yang sesungguhnya.
Satu kejadian yang tak pernah aku lupakan sampai saat ini adalah ketika aku sedang mengalami krisis ekonomi, karena orangtuaku belum mengirimkan uang untukku saat itu, sedangkan aku sudah tak memiliki uang sepeserpun, dan akhirnya aku pun berpuasa. Dan saat adzan maghrib berkumandang, tiba saatnya berbuka puasa, dengan senyum yang ramah, salah satu temanku menghampiriku dengan membawakanku makanan untukku berbuka. Ia mengatakan bahwa ia mengetahui apa yang terjadi padaku saat itu, dan ia pun pernah mengalaminya, maka dari itu ia meminta izin kepadaku untuk membagikan sebagian rezekinya kepadaku. Tak kuasa aku menahan tangis karena haru pada saat itu. Di saat aku merasa sendiri, di saat aku merasakan sulitnya hidup, ternyata masih ada orang yang yang peduli terhadapku, temanku sendiri. Bahagia sekali yang kurasakan saat itu.
Pesantren, sebuah haflah al mubarakah yang memberiku beribu ilmu serta pengalaman hidup yang berarti bagi masa depanku. Tempatku menimba ilmu, membina moral, agar mampu menjadi مرأة و ولدة صالحا (seorang perempuan yang shalihah), menjaga kehormatannya, yang pada akhirnya mampu memenuhi harapan orangtua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H