Mohon tunggu...
Pratiwi Herdianti Putri
Pratiwi Herdianti Putri Mohon Tunggu... -

kamu bukan lagi bintang utara atau pun mercusuar buat pelaut macam saya, tapi kamu pantai, tempat saya pulang :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perpisahan Hari Itu

6 Desember 2011   02:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:47 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk mencintai, dan sayangnya kamu tak suka akan caraku mencintaimu.

“kecurigaanmu itu berlebihan!”akhirnya sepotong kalimat agak tinggi ini memecah kesunyian malam itu.

Sudah hampir 30 menit kami hanya terdiam, sibuk akan pikiran masing-masing tanpa suara. Benar adanya, kami saling bertatap muka tapi sayangnya kami tak saling menatap mata. Ah, aku sangat merindukan tatapan mata itu, yang selalu saja membuatku meleleh saat balas menatapnya. Tapi ekor mataku sedikit menangkap, ada kebencian di situ. Aku menahan air mata.

“Aku hanya ingin meyakinkan, kalau kamu memang hanya buatku. Apakah salah jika aku cemburu padamu?”

“Itu artinya kau tidak percaya denganku.”

“Aku percaya padamu, dear.”

“Lalu kenapa harus ragu? Kenapa harus curiga?”

“Bisa kah sedikit saja kamu peka terhadap perasaanku?”

“Kamu selalu begitu, ingin dimengerti tapi tak mau mengerti.”

“Bukankah seharusnya aku yang bilang seperti itu padamu? Sudahlah, jadi ada hubungan apa kamu dengan wanita itu?”

“Dia hanya rekan kerjaku, itu saja.”

“Kenapa tak dijawab saja daritadi? Jika memang tak ada hubungan apa-apa mengapa harus marah?”

“Aku tak marah, aku hanya tak suka.”

Sekali lagi, pertengkaran itu tak menemukan ujungnya. Perasaan kami makin meruncing satu sama lain. Entahlah, aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku begitu menyayangi pria di hadapanku ini, tapi aku bingung bagaimana menunjukkannya.

“Biarkan aku pergi, sayang.”ujarnya lirih. Hatiku tersayat, ada sesuatu tertahan di kelopak mataku, aku tak dapat berkata apa-apa.

“Aku menyayangimu, lebih dari yang kau tau.”

“Aku tau.” Pria itu mencoba menggenggam tangaku, aku menepisnya. Lalu kembali meraih tanganku, kali ini menggenggamnya erat, hingga tak ada daya aku melepasnya. “Sayang, apa yang membuatmu susah untuk melepasku?”

“Entahlah..”

“Pasti ada alasannya.”

Cinta sejati tak butuh alasan, sayang.” Genggamannya semakin kuat dan aku tak kuasa menahan air mataku lagi. “Kamu mencintai gadis lain?”

“Demi Tuhan, hanya kamu yang kusayang. Aku hanya susah untuk mengerti jalan pikirmu, bahkan aku tak mengerti. Percayalah sayang, kamu wanita termanis yang pernah kumiliki. Tapi kita punya tujuan yang berbeda, aku dan kamu, berbeda.”

Bukankah perbedaan itu indah, sayang?”

“Biarkan aku pergi, sayang.”

Hatiku itu rumah buatmu, sayang. Kamu boleh pergi sekarang, tapi rumah ini akan selalu menantimu kembali. Pintunya tidak akan pernah tertutup untukmu.

Pria itu menciumi tanganku, menatap mataku dalam. Masih ada cinta di situ. Tapi mengapa perpisahan ini ada, aku benci kata perpisahan. Dia menyeka air mataku lalu mencium pipiku. Setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai, sayangnya kamu tak suka akan caraku mencintaimu, mungkin itu alasan akan perpisahan hari ini. Dia tersenyum dan berlalu, aku hanya pasrah melihatnya pergi, memperhatikan punggungnya sampai benar-benar menghilang. Hati kecilku masih berharap punggung itu akan berbalik, berlari ke arahku, dan berkata, “Bisakah kita mengulang semuanya dari awal?”. Tapi semuanya terlambat, hal paling menyedihkan adalah ketika kita tahu bahwa waktu itu sudah lewat begitu saja dengan sia-sia karena kesalahan yang kita perbuat.

Surabaya, 2011 – terkadang pilihan yang menurut kita menyedihkan adalah yang terbaik buat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun