Memasuki masa-masa menjelang quarter life crisis, banyak dari kaum perempuan seangkatan saya mulai gusar, terlebih lagi melihat postingan di sosial media serta undangan pernikahan yang seperti tiada hentinya. When will be their turn to tie the knot?
Bohong kalau saya bilang saya bukanlah salah satu dari kaum perempuan gusar itu. Yes, I’m one of them. Terlebih lagi didukung dengan fakta bahwa perempuan ternyata punya masa expire untuk cangkang telur yang mesti diisi oleh mahluk-mahluk kecil berbentuk kecebong dari kaum laki-laki yang ternyata tidak punya tenggat waktu, like they can always produce those things till the end of their life. Totally unfair, I know it, ladies. Saya pun khawatir, gusar, dan bingung.
Sebagai wanita mandiri dan bercita-cita besar (atau setidaknya begitulah saya melihat diri saya sekarang), mencari pendamping hidup bukanlah perkara mudah, semudah memilih alcapone di antara banyaknya jenis doughnut yang dipamerkan di etalase JCo.
Kami, or at least me, perempuan-perempuan tangguh masa kini memilih untuk menjalani masa sekarang sembari menyusun rencana masa depan. Melanjutkan sekolah, berkarir atau berwirausaha, mandiri secara finansial. Sayangnya, tidak banyak lelaki gentle di luar sana yang siap dengan perempuan-perempuan perkasa seperti ini. Lantas karena alasan due date atau expire, beberapa dari perempuan perkasa yang saya kenal kemudian memilih untuk berputar dan menjalankan hidup lebih sederhana dari mimpi-mimpi besar yang dulu pernah diucapkannya. Mimpi-mimpi besar itu kemudian dikubur, tenggelam bersama waktu, atau tergantikan dengan keinginan untuk sekedar menjadi ibu atau istri rumah tangga yang menunggu gaji atau uang bulanan dari suami.
Salah? Tentu saja tidak. Tak ada yang salah dengan pilihan hidup seseorang, siapapun mereka. Hanya saja kurang bijak jika kemudian pilihan hidup yang mereka ambil lantas menjadi kambing hitam atas apa yang sekarang mereka jalani.
“Ah, coba saya dulu nikahnya ga cepet-cepet, kan bisa ikut kalian traveling dulu”
“Bosen nih di rumah terus, ga ada kerjaan, kalian enak masih bisa nongkrong-nongkrong bebas, party-party, nah gue? Di rumah nungguin suami pulang”
“Enak ya masih single, bebas belanja apa aja, gue tiap dapat jatah bulanan suami udah keburu abis buat kebutuhan rumah ama anak-anak”
oh come on, women, that’s the risks
Kalian kira kami yang masih single ini juga tidak iri melihat kalian?
“ah, enak ya kayaknya punya keluarga kecil bahagia selagi muda”