Mohon tunggu...
andi misbahul pratiwi
andi misbahul pratiwi Mohon Tunggu... -

keep fighting and be faithful whatever you wanna reach to -Ketua Umum LISUMA Gunadarma-Public Speaker-Traveler-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perempuan dan Pendidikan Karakter

17 November 2013   00:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:04 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di seluruh belahan dunia, keberadaan perempuan sudah dipastikan ada dalam setiap aliran sungai kehidupan. sebagai human ,tentunya perempuan turut berpartisipasi serta berkontribusi secara langsung di dalam lingkungan tertentu. menjalani perannya di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, perempuan akhirnya secara individu maupun kolektif melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari pekerjaan secara fisik maupun secara pikir. tidak hanya itu, perempuan juga adalah penentu arah generasi selanjutnya, karena di tangan perempuan lah lahir anak-anak bangsa yang di didik oleh perempuan. pemberian pendidikan kepada anak tidak hanya berupa ilmu eksacta namun pendidikan karakter pun perlu ditanamkan pada jiwa setiap anak. agar, tidak terjadinya pergeseran nilai-nilai luhur budaya bangsa. selain itu pendidikan karakter yang baik akan membentuk pribadi berbudi luhur, professional, serta mampu mengambil keputusan sejak objektif. hal itu nantinya akan meminimalisir tragedi-tragedi yang sering terjadi akhir-akhir ini seperti: kenakalan remaja, tawuran, perang saudara, dan akhirinya, peran perempuan pun menjadi tanggung jawab yang besar untuk memberikan pendidikan karakter pada generasi penerus bangsa sedini mungkin dan sebaik mungkin.

kenapa harus pendidikan karakter dan mengapa harus perempuan?

Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku jujur dan bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai situasi, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual social, emosional, dan etika). Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik (Battishtich, 2008)

Karakter menurut Alwisol (2008: 8) diartikan sebagai gambaran tentang tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implicit. Karakter berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meski demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan social. Keduanya relatif permanen serta menuntun, mengarahkan dan mengorganisasikan aktivitas individu.

Kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku seseorang (Wynne, 1991). Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter tidak baik, sementara orang yang dikatakan sebaliknya dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter berkenaan dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorangbisa disebutorang berkarakter (a person of character) apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral.

Kilpatrick dan Lickona merupakan pencetus utama pendidikan karakter. Keduanya percaya adanya keberadaan moral absolute yang perlu diajarkan kepada generasi muda agar paham betul mana yang baik dan benar. Lickona (1992) dan Kilpatrick (1992) juga Broks dan Goble yang tidak sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya nilai moral universal yang bersifat absolut (bukan bersifat relatif) yang bersumber pada nilai-nilai di dalam agama-agama di dunia, yang disebut sebagai “the golden rule”. Contohnya adalah berbuat jujur, menolong umat, hormat kepada orang laindan bertanggungjawab (Martianto, 2002). Pendidikan karakter tidak dapat dipisahkan dari identitas karakter yang digunakan sebagai acuan. Karakter tersebut disebut sebagai karakter dasar. Tanpa memiliki karakter dasar, pendidikan karakter tidak akan memliki arah/tujuan yang pasti.

Pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate use of all dimensions of school life to foster character development. Hal ini berarti, guna mendukung perkembangan karakter peserta didik, seluruh komponen di sekolah harus terlibat, yakni mencakup isi kurikulum, kualitas hubungan penanganan mata pelajaran, pelaksanaan aktivitas kurikuler, dan etos seluruh lingkungan sekolah.

Pendidikan karakter idealnya tidak hanya di terapkan di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan masyarakat pun turut andil dalam pembentukan karakter seorang anak. Di dalam lingkungan keluarga tentunya seorang ibu lah yang senantiasa bersentuhan langsung secara fisik, maupun pikiran dengan anaknya. Pendidikan yang pertama didapat adalah dari ibu, ibu yang melahirkan, merawat, mendidik, serta menjaga anaknya.

Perempuan berperan penting dalam hal pembentukan karakter anak bangsa. Berawal dari tangan-tangan ahli perempuan, lahirlah berbagai macam karakter anak. Terciptanya karakter baik atau buruk dalam mental dan hati anak adalah tanggung jawab orang tua terlebih lagi seorang ibu. Sehingga untuk membentuk karakter anak-anak bangsa tergantung pula pada kerangka pikir seorang ibu. Kerangka pikir yang dewasa, terbuka, serta memahami nilai-nilai dasar luhur budaya akan dapat membentuk serta menularkan nilai-nilai moral. Selain menjadi sosok ibu di dalam keluarga, perempuan di lingkungan eksternal keluarga menempati posisi yang cukup penting.

Menurut survei Persentase Guru menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Sekolah, Kemendiknas 2009/2010. Guru perempuan pada tingkat SD dan SMP lebih banyak dibandingkan guru laki-laki, sedangkan pada tingkat SMA ke atas lebih banyak guru laki-laki. Dari 100 guru sekolah dasar (SD), 64 orang perempuan dan 36 orang laki-laki. Dari 100 guru sekolah menengah pertama (SMP), 53 orang perempuan dan 47 orang laki-laki. Dari 100 guru sekolah menengah (SMA dan SMK), 47 orang perempuan dan 53 orang laki-laki. Dari data statistik diatas, dapat disimpulkan bahwa tenaga pengajar di domonasi oleh perempuan, terlebih lagi tenaga pengajar pada tingkat sekolah dasar, yang notabenenya, di sekolah dasar lah anak-anak menyerap segala ilmu dasar kehidupan, mulai dari moral, etika, tata krama, tenggang rasa hingga toleransi. Disinilah, posisi perempuan menentukan untuk memberikan pendidikan karakter sebagai pondasi. Sisanya, akan dikembangkan di tingkat sekolah menengah pertama, dan menengah atas.

#tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh perempuan di dunia umumnya dan di indonesia pada khususnya, saya menulis tulisan ini karena terinspirasi dari kajian-kajian mengenai perempuan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun