Di dalam hiruk pikuk yang mencuat mengenai trend film horror lokal yang kerap membawa-bawa unsur agama, khususnya Islam, Joko Anwar kembali merilis sebuah karya yang menunjukkan bahwa formula yang belakangan ini semakin usang ternyata masih menyisakan ruang untuk di angkat ke level yang lebih tinggi.Â
Tentu itu yang kita semua inginkan sekadar melihat nama Joko Anwar sebagai sutradara. Kendati secara umum film ini bukanlah karya terbaik Joko Anwar, apalagi dibandingkan dengan karya-karya 'doi' di era 2000-an, zaman keemasannya, Siksa Kubur tetaplah sebuah sajian yang lebih dari film horror lokal yang ada.
      Poin kritis pertama yang saya ekspektasikan dari film ini sebenarnya adalah bagaimana Joko Anwar bisa membuat film tentang siksa kubur yang tidak hanya tentang siksa kubur. Dalam artian tetap ada sisipan cerita yang berbobot di dalamnya dibanding pertunjukan siksa semata.Â
Saya anggap film ini berhasil memasukkan unsur story telling yang cukup keren dengan gaya khas 'doi' yang senantiasa berteka-teki dan mengajak penonton untuk memutar otak lebih keras kemudian meninggalkan ruang yang demikian luas untuk penafsiran dan diskusi setelahnya.
      Namun, kompleksitas cerita ini harus diimbangi dengan alur yang agak lambat utamanya di bagian-bagian awal. Serta yang paling terasa adalah mengurangi unsur pertunjukkan siksa yang eksplisit, jadi mungkin agak mengecewakan bagi beberapa orang jika mengharapkan sajian ala-ala gore yang berdarah-darah.
      Akan tetapi, setidaknya film ini menghadirkan pertunjukan suspense yang terbilang sangat intens. Tipe yang sangat masuk selera umum dibanding pertunjukan jumpscare serampangan yang selalu murahan. Adegan mesin cuci sedikit banyak mengingatkan adegan lift di film Pengabdi Setan 2 mengenai bagaimana pembangunan dan eksekusi adegan suspense yang ciamik dilakukan.
      Adegan puncak yang mempertontonkan siksa kubur secara eksplisit juga terbilang sangat intens walaupun agak kurang lama. Kombinasi permainan sudut pengambilan gambar dan pemanfaatan efek suara yang gokil benar-benar memuaskan penikmat film horror. Seandainya penikmat film horor menonton di studio Dolby Atmos yang menyajikan kualitas suara yang lebih 'oke' mungkin akan semakin memaksimalkan pengalaman menontonnya.
      Jajaran cast juga menjadi perhatian untuk film ini. Mengingat dalam proyek ini 'doi' menggandeng banyak nama-nama artis dan aktor terkenal. Mulai dari kompatriot seperti Reza Rahadian yang baru unjuk kebolehan diluar film yang biasa dia mainkan sampai langganan lama seperti Fachry Albar. Dari angkatan sangat senior seperti Slamet Rahardjo dan Christine Hakim sampai generasi baru seperti Muzakki Ramadhan dan Widuri Puteri yang cukup menyegarkan penikmat film.
      Sayangnya memang tidak semua nama-nama top ini bisa digunakan dengan maksimal. Sebagian cenderung kurang termanfaatkan seperti Fachry Albar dan Happy Salma dengan porsi tampilnya yang cukup minim. Sebagian memang sukses menjalankan tugasnya dengan ciamik sesuai ekspektasi, seperti Faradina Mufti dan Reza Rahadian yang dipasang sebagai ujung tombak film ini. Sebagian lainnya surprisingly justru tampil mengejutkan in a good way dan cukup mencuri perhatian seperti Slamet Rahardjo dan duo aktor cilik Muzakki dan Widuri.
      Namun, faktor cast yang underutilized ini masih termaafkan dengan mempertimbangkan bahwa memang sulit sekali untuk memberikan porsi bagi semua untuk cast untuk unjuk kebolehan dan kepiawaiannya dalam berakting yang tentu saja diperlukan penyesuaian demi kebutuhan plot yang menyatu secara keseluruhan.