Mohon tunggu...
Prastian DwiPutranto
Prastian DwiPutranto Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman

Mencoba peruntungan didalam seni menulis karena memiliki ketertarikan menulis, copywriting, dan hal lainnya karena suka membaca buku dan memikir hal yang seharusnya bisa dituangkan agar bermanfaat untuk manusia lainnya. Enjoy fellas!!

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

KAI Commuter, Sudah Berapa Cerita Sedih yang Kau Tanggung Sendiri?

4 September 2023   16:39 Diperbarui: 4 September 2023   17:04 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Ketika saya bertanya mengapa tidak mencari pekerjaan yang jaraknya terjangkau, beliau hanya tersenyum dan berkata "Umur saya tidak muda lagi mas, belum tentu ada yang mau menerima pekerja sudah kepala empat. 

Asal kebutuhan keluarga bisa terpenuhi, saya ikhlas mas buat menjalani hal kaya gini". Yak, saya berbicara dengan orang yang salah, niat hati ingin mengurangi rasa sedih justru malah tertampar lima jari dipipi dengan cerita si bapak ini. Menahan rasa sedih yang beruntun, saya mampu untuk membendung air supaya tidak keluar dari kelopak atas mata saya.

Dua kali tragedi mengiris hati terlintasi akhirnya saya tiba juga di Stasiun Bekasi. Nyaman nya menggunakan KAI Comutter ini tidak mampu saya rasakan karena rasa sedih yang menutupi. Saat sedang berjalan dikoridor saya pikir ini semua akan berakhir, namun saya salah lagi. Tiba-tiba ada ibu dan anak yang menghampiri saya dengan sengaja, saya tak tau apa tujuannya. 

Hal sedih yang saya kira usai, ternyata nambah lagi. Ia bercerita bahwa tidak memiliki cukup uang untuk pulang, uang yang mereka miliki hanya cukup untuk satu orang saja. Tanpa berpikir bahwa ia benar atau tidak saya mengeluarkan sejumlah uang untuk mereka berdua. Rasa sedih yang saya terima bukan karena mengeluarkan uang untuk mereka, tetapi senyum bahagia mereka dengan mata yang berkaca-kaca  sambil berkata "makasih ya mas, semoga rezeki nya diganti"

KAI Comutter Line yang seharusnya memberikan rasa nyaman, aman, cepat, dan murah ini ternyata berubah menjadi kumpulan rasa sedih saya pada kala itu. Setelah bergegas mengambil motor dan membayar parkir, saya memacu kendaraan dengan perlahan. Alasan saya tidak ingin cepat-cepat sampai rumah adalah, saya tidak tahan untuk membendung air dikelopak mata saya ini, saya harus membuang ini semua sebelum sampai kerumah nantinya.

Jarak dari Stasiun Bekasi ke rumah saya harusnya hanya memakan 20 menit perjalanan, namun mau tidak mau saya harus menambah beberapa menit lebih lama untuk menumpahkan air ini tanpa ada satupun orang yang lihat. 35 Menit berlalu, tertiba saya sudah dirumah. Dengan mata yang sedikit sembab, saya hanya menyampaikan ke orang rumah " gapapa kok, bukan rejeki nya aja disini". Saya tidak menceritakan rentetan kisah sedih yang saya alami selami berjalan pulang dengan KAI Comutter Line.

Dibalik rasa nyaman, aman, murah, dan cepat. KAI Comutter Line tidak pernah menceritakan bahwa kuda besi ini juga memiliki rasa sedih, kecewa, pahit, dan gelap para penumpang setianya disetiap gerbong yang berbeda. Sudah berapa kisah sedih yang engkau tampung wahai KAI Commuter?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun