Jogja, adalah sudut hati yang romantis, ia selalu memberikan kenyamanan dan kebahagian setiap penduduk dan pengunjungnya, maka tak heran bila Jogja disebut sebagai kota Istimewa.
Aku adalah perantau, merantau karena pendidikan. Aku mengenal Jogja dari tahun 2011. Sebelumnya Jogja pernah ku singgahi, saat study tour di MA (SMA), namun terbatas, karena aku hanya mengenal Parangtritis, Pasar Bringharjo dan Malioboro. Ketika aku kuliah, aku banyak berkeliling Jogja mulai dari sekedar nongkrong bareng komunitas di bawah fly over Lempuyangan, nonton teater di TBY, sekedar jalan-jalan di alun-alun utara dan selatan, numpang sholat di Masjid Agung, nongkrong di Tugu, Monumen Jogja kembali, Museum Sonobudoyo, Museum Dewantara Kirti Giya, perpuskota , pasar ngasem, pasar klitikan, pasar sentir, angkringan kopijos, dan tempat-tempat lainnya, baik tempat wisata, maupun tempat edukasi di DIY.
Jogja Istimawa ingin sekali ku tulis, dan hari ini aku akan memulai tulisan dari central pariwisata Jogja yaitu Malioboro. Dibanding dahulu, kini Malioboro telah bersolek, dulu yang ramah sekarang semakin ramah, bangku bangku duduk semakin banyak, dan parkir yang dulu semrawut kini parkir kendaraan pengunjung Malioboro sudah difokuskan keutara.
Hal ini dapat kita lihat, setiap datang ke Malioboro, maka kita banyak menemukan baju, blangkon, aksesoris, baik bermotif batik atau ikon lain yang menjadi ciri khas Jogja. Andong dan becak juga masih lalu-lalang menghiasi Malioboro dan menjadi transportasi istimewa bagi para pengunjung luar kota. Keistimewaan terbaru yang ditawarkan Jogja adalah zona untuk pejalan kaki, mereka bebas berkeliling Malioboro tanpa harus berhimpitan dengan kendaraan yang terparkir. Malioboro berhias dengan banyaknya bangku-bangku untuk duduk para jomblo, pasangan, maupun keluarga. Bebas memilih tempat duduk tanpa khawatir isu sara, yang ada suara emas para seniman jalalan.
Alunan gitar musisi jalanan, angklung personal maupun grup, sampai alunan biola menjadi pemandangan plus Malioboro. Pengunjung banyak dibuat penasaran karena mereka berkumpul melingkar dan tidak sedikit juga yang ikut berjingkrak dan bergoyang mengikuti alunan musik. Dari banyaknya pengunjung yang melingkar, ada yang mengamati via kamera gadget, ada yang mendiskusikan asal muasal alat musik yang diperagakan, ada yang request lagu, dan ada juga yang sekedar menemani pasangan, sehingga menambah romantisme perjalanan.
Tempat favorit saya adalah bangku dari semen yang tepat berada dibawah pohon tepat didepan monumen serangan umum sebelas maret. Dibangku ini saya punya banyak cerita dari mulai mengisi waktu dengan membaca buku, menulis puisi, sampai bercengkrama dengan sahabat. Dibangku ini juga aku aku pernah punya ingatan bersama komunitas membuka lapak mobile library, lapak yang berisi buku-buku bebas untuk dibaca.
Tempat favorit lainnya adalah pasar sentir, pasar yang hanya buka malam hari, bertempat di selatan pasar Bringharjo, tepatnya di parkiran pasar Bringharjo. Pasar ini selalu banyak menyedot pengunjung, bahkan banyak pengunjung setia, baik untuk berbelanja barang barang antik, barang second sampai barang barang langka. Seperti saya yang selalu menyempatkan sebulan sekali untuk menengok buku-buku second dan langka. Tentunya buku buku berkualitas dan masih asli, kalo beruntung akan mendapatkan buku buku lama cetakan awal.
Jogja sukses membangun interaksi dengan pengunjungnya. Interaksi disini adalah interaksi langsung dan tidak langsung. Interaksi langsung dengan para seniman, pedangan maupun pengunjung. Sedangkan interaksi tidak langsungnya adalah alunan musik yang mencoba disampaikan oleh seniman jalanan, membuat pengunjung kangen dan rasa ingin kembali.
Begitulah Jogja, menawarkan banyak hal untuk saling terhubung. Seperti keistimewaan dan romantisme bunga mawar menghubungkan dua insan. Namun kalo boleh dikatakan “Jogja tanpa mawarpun romantis, Jogja tanpa mawarpun tetap Istimewa”.