Mohon tunggu...
Prasasti Perangin-angin
Prasasti Perangin-angin Mohon Tunggu... -

Seorang dosen demi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Timpangnya Kehidupan karena Pendidikan

19 September 2014   20:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:13 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hampir sepanjang hari vila tempat indekos saya itu begitu sepi.Rumah-rumah banyak yang kosong karena pemiliknya sebagian besar tinggal di Kota Jakarta. Bahkan sudah lebih beberapa bulan saya ngekos di kompleks itu, ternyata saya melihat rumah tak kunjung dikerumuni para pemiliknya. Sebagian memang terisi bila akhir pekan tiba atau pas kalender berwarna merah.Ciri-cirinya biasanya, bila sudah ada jejaran mobil mewah membentang di depan rumah, pertanda sang pemilik sedang hinggap di rumah itu.

Tidak sedikit juga rumah dibiarkan kosong tanpa dirawat. Rumputnya sudah lama tidak dibersihkan petugas kebersihan karena barangkali iuran 150 ribu rupiah perbulan itu sudah lama tidak dibayar. Jadinya, hanya kecok dan cicak yang menikmati vilayang persis dibawah kaki Gunung Gede Cipanas Jawa Barat itu. Saya bertanya kepada Bapak indekos saya, kenapadibiarkan kosong Pak? Beliau menjawab, itu untuk investasi doang, ujarnya. Ah seandainya dikasih ke saya untuk ditempatin gratis, alangkah saya mengucap syukur, terbersit dipikiran saya.

Kompleks perumahan ini, hanya satu di antara puluhan, dan mungkin saja bisa mencapai ratusan kompleks perumahan yang ada di sekitar wilayah di mana Istana Presiden Cipanas bermukim. Nyaman memang beristirahat di daerah pegunungan seperti ini. Pada pagi hari, kita bisa lari pagi sambil menghirup udara yang segar dan memanjakan mata dengan pemandangan pegunungan yang menjulang memanjang. Maka dari itu, para orang-orang berduit dari Kota Jakarta melihat bisnis perumahan yang sangat menjanjikan di daerah ini. Itulah sebab, vila-vila berserakan, rumah-rumah bagus tak berpenghuni membanjir, dan rumah berharga ratusan juta itu hanya ditempati sebulan sekali.

Namun sungguh tragis. Sejurus melangkah dari vila yang sepi ini, kita akan berhadapan dengan pemukiman penduduk yang super padat. Rumah berdempet dingding satu dengan yang lain. Tidak ada tanah kosong sebagai resapan air. Rumah berukuran kamar indekos saya beriringan di gang-gang sempit. Pintu ke pintu saling berhadapan. Di situ kamar, di situ kamar mandi, di situ masak, di sebelah kamar tidur tetangga, jalan sedikit pintu rumah, waduhtak bisa saya bayangkan bagaimana hidup ditengah kompleks yang sangat sempit itu. Sangking padatnya, saya dan beberapa teman menyebutnya bak memasuki ‘hutan belantara’.

Iya, rumah-rumah itu mirip jejeran pepohonan yang begitu rapat. Setiap kami melalui rumah-rumah itu, tidak jarang kami tersesat di dalamnya. Karena rumahnya mirip-mirip dan jalan hanya selebar badan manusia dewasa. Dengan beberapa teman, kami sering melewati pemukiman itu untuk mempersingkat waktu perjalanan ke sebuah perumahan yang lain di mana disitu biasanya kami menikmati jus stroberi yang sangat nikmat. Meskipun sudah berulang kali melewati jalan itu, kami masih harus terus meraba-raba karena rumah itu begitu padat, sangat menyesakkan.

Namun di dalam lingkungan yang super padat itulah sebagian penduduk setempat bermukim. Jejeran vila-vila orang jakarta itu dulu adalah ladang miliki nenek moyang mereka. Entah kapan dan entah bagaimana itu dulu terjadi, yang pasti sekarang orang-orang Jakarta telah menjadi pemilik tanah yang sangat luas dan sangat nyaman di tempati itu. Mereka beserta anak cucunya sekarang hanya dapat meratapi kenyataan bahwa mereka hidup berdampingan di rumah yang padat itu. Dan paling menyedihkan, tidak sedikit diantara mereka juga masih mengontrak rumah yang sempit itu.

Saya terpikir, sungguh timpang kehidupan ini. Tanah yang luas, rumah yang bagus, taman yang asri, jalan yang lebar hanya menjadi pajangan dan hanya berpenghuni sebulan sekali. Namun rumah yang sempit, tidak ada lahan kosong, sangat padat, tidak sehat, jalan yang sempit, dipenuhi oleh orang-orang yang setiap hari berjuang untuk menyambung kehidupan.

Pada dasarnya tanah yang Tuhan Pencipta berikan ini sangat subur. Namun apa daya, lahan pertanian yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang telah beranak cucu dan bertambah banyak. Tak heran, jadinya hanya pisang, ubi, dan sayuran seadanya yang menjadi hasil bumi penduduk setempat. Sebagian penduduk setempat bekerja sebagai satpam untuk menjaga vila, membersihkan vila yang jarang berpenghuni itu, menyiram bunga yang jarang dinikmati harumnya itu, dan menjadi pegawai hotel yang bertaburan di sepanjang lintas Cianjur-Bogor itu. Akhirnya sebagian lagi menjadi ‘calo vila plus-plus’ bagi hidung belang yang melalang buana dari ibukota. Timpang, sungguh timpang!

Siapa yang salah akan semua itu? Semua salah! Penduduk setempat, mungkin karena kurang pendidikan, tidak pikir panjang menjual tanah demi kenikmatan sesaat.Karena tidak berpendidikan, akhirnya mereka hanya mampu menjadi tanaga kerja bagi orang lain. Bisa juga karena malas, kurang bekerja keras, dan seakan-akan hanya meratapi nasib, sudah beginilah adanya sekarang. Barangkali karena inilah ketimpangan itu semakin lebar.

Bersamaan dengan itu, orang-orang berduit dari metropolitan itu, tidak juga berpikir apa dampaknya bagi masyarakat sekitar, yang penting punya vila meskipun itu hanya untuk pajangan. Apalagi Pemerintah Daerah, jelaslah pemasukan yang mereka pikiran, dengan banyaknyavila, banyaknya tempat hiburan, hotel, maka itu mengguntungkan (pajak) meskipun harus mengorbankan rakyat hidup berdesakan di lahan yang sempit itu.

Jadi sekarang bagaimana? Akankah itu terus timpang? Saya tidak tahu! Saya justru jadinya terpikir tentang Berastagi Tanah Karo, tempat kelahiran saya. Jangan-jangan Tanah Karo Simalem juga akan menjadi seperti ini beberapa tahun yang akan datang. Vila bertebaran di mana-mana, hotel berbintang, namun orang karo hanya menjadi satpam dan penonton di tengah kesejukan udara yang dicari-cari orang berduit dari ibukota. Barangkali dari cerita inilah, kita harus belajar untuk membuat kehidupan ini tidak timpang. Kita kalau mau jual tanah, harus cerdas dan jangan terbuai dengan rayuan segepok uang. Generasi demi generasi harus terdidik dengan mengutamakan pendidikan. Agar kelak generasi itu tidak menjadi penonton di arena pertandingan yang sangat timpang itu. Hanya kita sendiri yang bisa membuat kehidupan ini tidak timpang, bukan orang lain!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun