Indonesia hari ini menjadi semakin jauh dari apa yang pernah di cita – citakan oleh para pejuang kemerdekaan sejak 1908. Kemerdekaan yang diharapkan ternyata hanya berada diselembar tulisan kertas berisi teks Proklamasi. Ketika kertas itu dilipat maka seketika itu juga kita tidak melihat sedikitpun kemerdekaan itu. Entah siapa yang mau disalahkan, orang-orang jahat yang meluluhlantakan kemerdekaan atau para pemilik negeri, kaum muda, akademisi, intelektual, pemuka agama yang sesungguhnya tahu kejadian tapi memilih berdiam diri bahkan perlahan-lahan larut pada kejahatan.
Jika kita uraikan cerita bagaimana tentang Indonesia hari ini, maka bisa jadi kita hanya memiliki dua pilihan, pertama, meneteskan air mata lalu menutup telinga dan mata seolah tak terjadi apa-apa. Kedua, marah dan mempersiapkan diri untuk dituduh subversif, jadi buronan politik dan mungkin kelak mendekam 1 atau 2 tahun dipenjara.
Terlepas apa pilihan kita tapi mari kita coba mengurai cerita. Beberapa waktu yang lalu, media ramai menulis tentang 3 TKW yang diperkosa oleh polisi Diraja Malaysia dan beberapa hari kemudian 1 TKW lagi diperlakukan yang sama. Jika itu kejadian yang pertama, mungkin kita masih bisa berfikir bahwa musibah bisa terjadi kapan saja. Ternyata, sebelum kasus pemerkosaan itu ada juga cerita tentang mayat-mayat TKI yang konon ditemukan di negeri Jiran dengan kondisi organ tubuh yang tidak lengkap lagi. Jika kita mundur lebih jauh maka sederet peristiwa yang mengenaskan yang pernah menimpa TKI kita akan terbongkar satu persatu. Mulai dari sekedar tinju dan tendangan, di setrika atau di sulut dengan bara api, dikurung dikamar mandi tanpa makan, di lempar dari apartemen, diperkosa dan sederet kisah mengerikan yang sepertinya mustahil bisa dilakukan oleh Manusia.
Malaysia bersalah? Sepertinya kita tidak ragu untuk menjawab “YA” tapi siapa yang lebih bersalah dari Malaysia? Tidak lain dan tidak bukan jemari kitatentu akan menunjuk pemerintah lah yang paling bersalah. Pemerintah menjadi bersalah karena ia menikamati uang TKI tetapi tidak bergeming ketika para TKI di siksa ! Pemerintah menjadi bersalah karena ia hidup, makan, minum, berbelanja, menyekolahkan anak-anaknya, membiayai perawatan wajah isterinya dan itu semua dari uang Rakyat termasuk Rakyat Indonesia yang menjadi TKI, dari uang mereka yang mukanya disetrika, dari uang mereka yang babak belur di injak dan dipukuli, dari uang mereka yang terancam harga dirinya karena pergi perawan dan pulang dengan kehamilan.
Peristiwa itu tidak terjadi di luar galaxy bima sakti sehingga ada seribu alas an bagi kita untuk tidak berbuat apa-apa, peristiwa itu juga bukan sejauh kutup utara sehingga kita punya alas an untuk tidak berbuat apa-apa karena ongkos terlalu besar. Peristiwa tragis itu terjadi tidak jauh dari Indonesia, hanya 2 jam pesawat dari Jakarta, cukup 30 menit dari kepulauan Riau atau hanya 5 menit dari sebuah desa di Kalimantan barat. Kalau bicara biaya, dengan Air Asia Cuma Rp 299.000,- dengan Lion Air hanya Rp 675.000,- kalau dari kepulauan Riau hanya Rp 175.000,- jika dari perbatasan Kalbar cukup naik ojek Rp 5.000,- Jadi apa alasan Indonesia tidak berbuat apa-apa? Apa alasan Indonesia membiarkan kekejaman terus berulang terjadi pada Rakyatnya.
Itu diluar negeri, lalu bagaimana di dalam negeri? Mari kita pilih satu saja dari 33 propinsi di Indonesia, sebut saja Papua, atau Tiaka di Sulawesi, Tabanio di Kalimantan Selatan, ada Lapindo Brantas di Jawa Timur, ada Mesuji di batas Lampung – Palembang, ada darah ada air mata di setiap jengkal tanah di Republik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H