ASEAN berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967 dengan cita-cita dan tujuan awal menjalin kerjasama dan meningkatkan hubungan ekonomi antar negara anggotanya. Pada awalnya organisasi ini beranggotakan 5 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singgapura. Prinsip-prinsip ASEAN Treaty of Amity and Coorporation (TAC) dilahirkan melalui konferensi pertama ASEAN pada 24 Februari 1976 yaitu; pertama, saling menghargai kemerdekaan, kedaulatan, keadilan, persatuan teritorial, identitas nasional dari semua bangsa dan negara; kedua, semua negara anggota berhak untuk mendapatkan kebebasan dari campur tangan luar; ketiga, non-intervensi dalam hubungan internal. Penyelesaian masalah harus diselesaikan secara damai, menolak cara kekerasan dan pemaksaan, memiliki kerjasama yang efektif.
Adanya prinsip tidak mencampuri urusan politik negara lain serta selalu mendukung pemerintahan negara anggota yang terpilih secara konstitusional memberi kontribusi yang amat berarti bagi terciptanya stabilitas di kawasan tersebut. Keberhasilan ini menimbulkan apresiasi positif dari negara Asia Tenggara lain yang belum menjadi anggota maupun dari komunitas internasional. Dengan alasan inilah negara lain yang belum menjadi anggota tertarik dan mengajukan diri untuk menjadi anggota aktif dalam organisasi tersebut. Brunei Darussalam menjadi anggota keenam dan kemudian disusul oleh Vietnam, Kamboja, Laos, serta Myanmar.
Prinsip non-intervensi ASEAN merupakan salah satu masalah yang perlu ditinjau kembali pada masa sekarang, karena prinsip tersebut sudah dianggap tidak relevan lagi. Prinsip ini tidak boleh diterapkan secara kaku, hendaknya ada upaya danpartisipasi aktif dari negara lain untuk membantu mengatasi masalah internal tetangganya. Dalam perjalanan ASEAN selama ini ada kesan negara anggotanya diharuskan menyelesaikan sendiri problem internalnya tanpa ada intervensi dari negara lain. Prinsip non-intervensi ini masih layak untuk dipertahankan namun dalam implementasi teknisnya perlu mendapat beberapa perbaikan. Disadari atau tidak, dalam era keterbukaan sekarang ini, masalah yang melanda suatu negara akan berdampak terhadap negara lain, apalagi negara tetangga yang berada di satu kawasan.
Prinsip non-intervensi ini memang sedang menghadapi tantangan. ASEAN menggunakan prinsip non-intervensi untuk menghormati norma Westphalia (Traktat 1684 yang menghormati kedaulatan negara dan mengharamkan campur tangan terhadap urusan dalam negeri). Mereka bersedia meninjau kembali prinsip ini hanya bila terjadi kegiatan pelanggaran luar biasa terhadap kemanusiaan, seperti genocide. Perdebatan di ASEAN dan resolusinya, kendati masih menunjukan fundamentalisme Westphalian telah memunculakan perhatian pengakuan bahwa masalah hubungan penguasa dan rakyat suatu negara tak mungkin lagi ditutup-tutupi dari sorotan mata masyarakat internasional. Maka prinsip dan nilai yang kaku perlu di modifikasi agar bisa menghadapi tekanan dari dalam dan tuntutan dari luar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H