Pada era kontemporer saat ini muncul fenomena yang sering menjadi patologi ditengah perkembangan masyarakat. Termasuk pada masa pandemik covid-19 ini. Aktivitas mengemis tidak lagi menggambarkan tanda kemiskinan, melainkan dimaknai sebagai profesi. Beberapa penelitian berhasil mengungkap dimensi budaya dari perkembangan aktivitas mengemis; dimana terdapat pewarisan nilai dari generasi ke generasi.Â
Pada konteks yang sama, berdasarkan penelitian Henry di Shenyang mengungkapkan bahwa aktivitas mengemis merupakan teater jalanan. Keadaan ini mengindikasikan adanya kearifan yang dianut oleh kelompok masyarakat tertentu. Sebagai produk budaya modern, dikhawatirkan pewarisan nilai aktivitas mengemis menjadi faktor utama sulitnya penanganan masalah persebaran pelaku profesi pengemis.
Hal ini menjadi logis ketika kita melihat pendapat salah seorang tokoh ilmu sosial yang dapat kita terjemahkan bahwa pembangunan budaya modern yang kurang mempertimbangkan kemanusiaan akan menimbulkan ketidak-stabilan antara relasi kehidupan sosial manusia. Kehadiran pengemis tidak bisa kita hindarkan dari pengaruh perkembangan budaya modern yang signifikan.Â
Disisi lain tumbuh sebuah permasalahan yang dianggap sebagai patologi, sebuah fenomena yang berjalan beriringan dengan budaya modern. Dapat ditandai adanya anggapan bahwa mengemis menjadi sebuah profesi merupakan dampak dari perkembangan kehidupan manusia yang kurang humanis.
Fenomena tersebut merupakan refleksi dari dunia pendidikan Indonesia yang digambarkan dengan keadaan krisis yang melanda Indonesia. Melihat keadaan pendidikan Indonesia masa lalu, ternyata tidak terlepas dari berbagai aspek kehidupan manusia.
Pada masa pra-orde baru, nasionalisme menjadi ideologi yang dijunjung dan di budayakan dalam kehidupan persekolahan. Pada konteks yang sama, ternyata menimbulkan hypernasionalisme. Dimana kehidupan bangsa Indonesia benar-benar menolak segalah hal yang berhubungan dengan budaya luar. Selain itu, dalam dunia perekonomian ternyata perekonomian Indonesia terisolasi dari dunia Internasional.
Pada konteks yang sama, pendidikan pada masa orde baru juga mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Dimana aspek politik menjadi panglima. Segala hal dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok minoritas.Â
Meskipun tidak dapat kita sangkal prestasi dalam dunia internasional yang mengubah Indonesia dari negara termiskin di dunia menjadi negara berpendapatan menengah.Â
Namun, pada masa itu pendidikan kita telah terlempar dari kebudayaan. Praktik-praktik kehidupan sosial, baik perekonomian, penegakan hukum, politik telah menciderai asas demokrasi.
Dapat kita yakini bahwa fungsi dan peran pendidikan suatu bangsa tidak terlepas dari kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan. Walaupun pendidikan sama sekali tidak bisa melaksanakan peran masing-masing dimensi tersebut, tetapi pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia didalam segala aspeknya.Â