Pada dekade sebelumnya Tilaar seorang pakar ilmu pendidikan memaparkan beberapa hal tentang pembaharuan bagi sistem pendidikan kita. Mulai dengan menghubungkan antara pendidikan dan kebudayaan hingga pada tahun 2015 Tilaar mengungkapkan bahwa Pancasila perlu disiapkan menjadi teori pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Mengapa Pancasila? Kita tahu Pancasila merupakan dasar filosofis bagai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Meskipun dalam praktiknya Pancasila masih belum membumi. Tetapi, dalam sejarah berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia, Pancasila diciptakan dengan penuh kearifan untuk menggambarkan kondisi sosial-budaya masyarakat dan bangsa Indonesia dalam kenyataannya yang Bhineka.
Yudi Latif pun pernah mengatakan, di United State of America dijuluki sebagai negera founding fathers. Oleh karena pendirinya adalah laki-laki, oleh karena kabinet-kebinetnya adalah laki-laki. Nah untuk Indonesia, tidak dapat dipungkiri Indonesia adalah negara Pancasila. Hal ini menjadi logis karena dalam sejarahnya, Pancasila diciptakan sebagai simbol yang menggambarkan keadaan Indonesia, menggambarkan kepribadian Indonesia, menggambarkan kondisi sosial-budaya Indonesia. Maka dalam kenyataan Indonesia yang Bhineka disimbolkan dengan Pancasila.
Kita tahu dalam sudut pandang teori maupun praktik, pendidikan memiliki hubungan yang saling terkait dengan seluruh dimensi kehidupan manusia. Secara rinci, oleh Tilaar dikatakan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang saling terkait dengan dimensi politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan, serta pendidikan itu sendiri. Bahkan apabila kita sadari, ternyata seluruh aktor dalam berbagai bidang kehidupan kita merupakan produk pendidikan. Dalam praktiknya, pendidikan dikatakan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan. Betapa tidak, hampir seluruh tujuan-tujuan politis dapat direalisasikan melalui pendidikan.
Pendidikan memang tidak bisa melaksanakan fungsi dan peran politik, tapi tanpa pendidikan tujuan-tujuan dari politik akan sulit untuk diwujudkan. Begitu pula dengan dimensi ekonomi, secara singkat tujuan-tujuan dari dimensi ekonomi akan sangat sulit dicapai tanpa pendidikan. Harus kita sadari bahwa kehidupan manusia dalam praktiknya sebagaian besar adalah praktik pendidikan. Bahkan kebudayaan-kebudayaan dan pengetahuan tentang hal sederhana sekalipun adalah praktik pendidikan. Hanya manusia yang berbudaya dan hanya manusia yang membudayakan. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Oleh karena pendidikan tidak terjadi dalam kekosongan namun pendidikan terjadi dalam kehidupan manusia yang berbudaya.
Apabila kita melihat praktik pendidikan di negara lain, terdapat perbedaan antara pendidikan di Amerika, Jerman, dan Jepang. Dalam sebuah buku The Teaching Gap, pendidikan di Jepang ditandai dengan adanya pengetahuan dan peserta didik ternyata dimediai oleh pendidik. Saya menyadari hal ini ketika merasakan teknik mengajar salah satu Dosen di Universitas Negeri Surabaya, dimana notabene nya adalah alumni Doktoral dari Aichi University of Education Jepang. Pendidik merupakan mediator yang mempertemukan peserta didik kepada pengetahuan. Pendidik tidak memberikan jawaban atas pertanyaan siswa, namun pendidik memberikan sebuah sumber yang harus dicari tahu peserta didik untuk menemukan jawaban.
Pendidikan di Jerman, juga mengenai pengetahuan dan peserta didik, tetapi pendidik mempersepsikan pengetahuan sebagai kekayaannya dan mentransfer kepada peserta didik untuk mencapai kemampuan berpikir terbaik. Hal ini tidak mudah dipahami, namun dapat kita kaitkan dengan sebuah sistem pembelajaran teacher centered. Praktik pembelajaran mimbar yang konvensional. Ternyata hal ini dipraktikan dalam sebagaian besar pendidikan di Indonesia. Namun, di Indonesia pun terjadi gap dalam pembelajaran tanpa disadari oleh beberapa pihak. Salah satunya, kompetensi kekayaan materi pendidik perlu adanya peningkatan. Mulai dari penguasaan teori pendidikan dan pengembangan sumber belajar. Kebanyakan dari guru kita meraba-raba praktik pendidikan dan akhirnya bemuara pada kegagalan-kegagalan yang kesalahanya dilimpahkan kepada peserta didik.
Melihat pendidikan di Amerika, kita akan kesulitan memahami paradigma pendidikan yang digunakan. Â Di Amerika, didalam ruang kelas dimana pendidik dan peserta didik dalam menemukan pengetahuan, ternyata status pengetahuan tidak pasti. Kita bahas secara singkat. Dapat kita pahami dalam NCSS di Amerika, mengajak peserta didik untuk mengeksplorasi berbagai perkembangan kehidupan manusia, sehingga mencakup ilmu kemanusiaan, ilmu alam dan matematik. Peserta didik mendapatkan pengetahuan secara utuh mengenai sebuah fenomena dalam jangkauan ruang dan waktu. Yaitu pengetahuan yang mencakup sudut pandang geografi, sejarah, sosiologi, antropologi, sain, dan lain sebagainya karena secara singkat diungkapkan mencakup kajian ilmu-ilmu sosial dan ilmu alam.
Disini kita akan menyadari hal yang dimaksud status pengetahuan yang tidak pasti. Bertolak pada kajiannya tentang seluruh perkembangan kehidupan manusia. Maka terindikasi adanya proses pembelajaran yang mengangap pengetahuan tentang fenomena saat ini akan mengalami perubahan pada masa yang akan datang. Untuk itu, NCSS di Amerika sebagai pengawal program pembelajaran social studies memandang segala sesuatu mengalami perubahan dan tidak ada yang abadi, dan yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Pembelajaran social studies di Amerika berusaha memberikan kesadaran bagi peserta didik mengenai masalah dan perkembangan kehidupan manusia sebagai usaha untuk menumbuhkan kemampuan berpikir logis dan kritis.
Lalu bagaimana dengan pendidikan di Indonesia? Pendidikan kita saat ini ditandai dengan adanya kesenjangan antara standar pencapaian akademik dan standar performansi. Dimana peserta didik mampu menyajikan hafalan dangan baik, tetapi mereka tidak tahu fungsi pengetahuan yang mereka pelajari. Ternyata pendidikan kita terlempar dari kenyataan-kenyataan tentang kehidupan sehari-hari. Apabila hal ini dibiarkan, pendidikan kita niscaya mampu mematikan budaya. Praktik pendidikan, politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan akan mengisolasikan kearifan nilai-nilai luhur budaya kita baik lokal dan nasional.
Kita tahu adanya hubungan antara bahasa dan tingkat kemampuan berpikir manusia, instruksi dan pegembangan kapasitas, serta keseharian dan bentuk konsep akademik. Maka pendidikan tidak terjadi diluar kebudayaan. Tujuan kita membentuk negara kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan kehidupan bangsa dan ikut berperan aktif dalam perdamaian dunia. Maka, untuk mewujudkannya, kita memerlukan masyarakat yang berkualitas, cerdas dan berbudaya. Pengembangan tentang pengetahuan lokal perlu dibangun, untuk menyadarkan potensi lokal dan budaya peserta didik. Teori sosio-kultuaral memandang adanya pengaruh yang saling terkait antara pengetahuan dan lingkungan sosial budaya. Maka pembelajaran berbasis lokal perlu dibangun, sehingga mampu mengambangkan potensi lokalnya pada tingkat nasional hingga global. Kita perlu mengingat pendapat Tilaar, Pancasila merupakan pedagogik teori untuk Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H