Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu... profesional -

Hingga Januari 2015, penggemar wedang kopi ini baru menulis 30 buku. Kini ia melanjutkan sekolah di Pascasarjana Unitomo Surabaya. Alasan utamanya kuliah S-2 adalah menghindari omelan istri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Text & The City (3)

3 Mei 2014   15:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya yakin, banyak tempat memorabilia yang bakal ”lenyap” di Surabaya. Tempat-tempat penuh kenangan ini ke depan bisa berganti menjadi pusat perbelanjaan, jalan, gedung perkantoran, atau bahkan sekolah.

Satu hal yang membekas di ingatan saya adalah nasihat Pak Dukut Imam Widodo, penulis buku Hikajat Soerabaia Tempoe Doeloe. Isinya, pegiat literasi punya tanggung jawab untuk ”mengabadikan” momen-momen yang bisa jadi hilang di masa depan. Tentu saja melalui tulisan.

Hal tersebut ia tegaskan kembali saat peresmian Text & The City: Stories of Surabaya dalam rangka Hari Buku Sedunia pada 12 April lalu. Yang punya hajatan adalah Perpustakaan Bank Indonesia dan bekerja sama dengan ayorek.org serta Perpustakaan Medayu Agung.

Acara ini sendiri bisa dibilang pemanasan sebelum pencanangan Surabaya sebagai Kota Literasi. Berbagai komunitas literasi, pencinta sejarah, penikmat seni, dan penggemar buku dari seluruh Kota Pahlawan berkumpul.

Pada bulan yang sama tahun lalu, saya mendapat buku Onghokham dari Andi Achdian via Dhitta Puti Sarasvati. Buku ini mengupas sejarah dari kacamata sejarawan Onghokham. Dia mengaku sangat menyukai buku-buku kuno, termasuk aroma kertasnya yang khas.

Saya tidak punya banyak buku kuno. Ada buku Wajang Poerwa terbitan 1950-an, tapi entahlah apakah ini bisa disebut buku kuno? Saya rasa belum meski kertasnya sudah lapuk termakan usia.

Menurut Onghokham, kuno itu memberikan nuansa lain. Kini saya tahu nuansa tersebut. Saat mengunjungi koleksi Perpustakaan Medayu Agung yang dipamerkan di Perpustakaan Bank Indonesia sampai Minggu, 4 Mei 2014.

Bekal belajar fotografi dari Mas Tedi Wardhana saya praktikkan di sini. Yang menakjubkan, saya bisa melihat buku-buku kuno yang terbilang langka. Salah satunya, Mein Kampf karya Adolf Hitler. Tanda tangan pemimpin NAZI pun terbubuh di buku itu.

Yang istimewa, ada naskah tulisan tangan Pramoedya Ananta Toer saat menjalani masa pembuangan di Pulau Buru. Tulisan tangan tersebut kelak diterbitkan dengan judul Bumi Manusia.

Mungkin inilah yang nuansa yang pernah dirasakan Onghokham ketika bergumul dengan buku-buku kuno koleksinya. Sebab, saat melihat-lihat tulisan tangan kuno tersebut, saya membayangkan bertemu Pak Pram yang seolah-olah berkata: Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Suasananya begitu emosional. Begitu dahsyat sehingga tak sengaja mata saya tiba-tiba basah.

Surabaya, 3 Mei 2014

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun