Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu... profesional -

Hingga Januari 2015, penggemar wedang kopi ini baru menulis 30 buku. Kini ia melanjutkan sekolah di Pascasarjana Unitomo Surabaya. Alasan utamanya kuliah S-2 adalah menghindari omelan istri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

SPG Buku

15 Mei 2015   21:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyonya belakangan ini seperti sumbu pendek. Emosinya mudah tersulut. Gara-garanya, buku-buku di rumah kami semakin bertumpuk. Kebanyakan ialah buku teks untuk keperluan kuliah saya.

Namun, penyebab utamanya bukan benda-benda kesayangan saya tersebut, melainkan ia berhasil menemukan struk belanja buku yang saya sembunyikan di bawah printer.

Di struk yang ia temukan itu, tertulis nominal belanja buku sebesar Rp 1 jutaan. Kontan ia mencak-mencak. Wejangan-wejangan tentang melemahnya perekonomian Indonesia dan fluktuasi harga brambang, bawang, kluwek, hingga lombok rawit keluar dari bibirnya yang sekecup bulan tersebut. Ingin rasanya saya masuk kuliah saja hari itu.

Setelah situasi reda, saya ganti meluapkan emosi pada printer yang sebenarnya tak berdosa itu. ”Juangkrik kon!” Sungguh, dalam sanubari ini, saya bergegas mematri janji untuk segera mengasramakannya ke pegadaian hari Senin pagi. Hikmahnya, saya harus segera membuang struk pembelian buku.

Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama. Namun, kali ini saya belajar banyak dan mencoba berkontemplasi. Terus terang saya sering lupa daratan kalau berada di toko buku, apalagi jika melihat buku bagus obralan. Andai tak ingat janji menabung agar bisa beli kambing kurban yang sehat dan montok, ingin rasanya memborong buku-buku bermutu di sana.

Namun, saya punya alasan kuat mengapa harus membeli buku hingga jutaan rupiah itu, jumlah yang sangat besar untuk ukuran pemuda kere tapi kece seperti saya. Ini semata-mata untuk keperluan belajar. Bukan untuk mendukung program satu ayah dua ibu.

Dari kejadian ini saya berimajinasi tentang berapa orang yang begitu tergila-gila pada buku seperti ketua RT Graha Asri Sukodono. Tentu saja yang dimaksud bukan hanya tergila-gila membeli buku, tapi juga tergila-gila membaca buku.

Memang distribusi buku-buku bermutu belum merata di seluruh Indonesia. Namun, di sini saya ingin membatasi pada lingkup perkotaan dan daerah-daerah yang terjangkau toko buku.

Imajinasi itu kemudian meliar dengan bayangan andai saja ada SPG buku yang seaduhai SPG rokok pada umumnya. Di Sukodono, Sidoarjo, misalnya, saya kerap mendapati acara promosi rokok di minimarket-minimarket seperti Indomaret dan Alfamidi. Sebuah merek rokok dibanderol Rp 10 ribu dan ditawarkan oleh SPG yang cantik-cantik nan seksi. Yang gila, jika beli di tempat promosi, ada bonus cuci motor langsung oleh SPG-nya. Wedan tenan.

Semestinya perlakuan seperti promosi tersebut juga layak diberikan untuk kegiatan promosi budaya baca. Saya berpikir bahwa promosi budaya baca ini bisa menggunakan jasa SPG. Tak perlu berbusana seksi, yang penting sopan, ramah, cantik, dan tidak berjakun.

Sidoarjo, 15 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun