Badai korupsi masih terus menerpa Indonesia. Bahkan, korupsi kini seakan-akan mudah ditemui di mana-mana, mulai level masyarakat biasa hingga kalangan pejabat. Masyarakat Indonesia dibuat kaget ketika mantan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini dan mantan Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan oleh KPK menerima suap. Yang terbaru, KPK menahan Gubernur Banten Ratu Atut atas dugaan kasus suap Pilkada Lebak dan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten.
Banyaknya pejabat yang kini mengenakan rompi oranye bertulisan ”Tahanan KPK” membuat kepercayaan publik berada di titik nadir. Di tengah suasana menjelang Pileg dan Pilpres 2014, tebar pesona pejabat untuk meraih simpati masyarakat dianggap hanya komestika politik belaka. Lantas, timbul pertanyaan: masih adakah pemimpin yang dapat dipercaya, kredibel, jujur, sederhana, dan punya keberanian serta komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi?
Ketika Indonesia bakal melaksanakan hajatan besar pada 2014 mendatang, publik tentunya merindukan sosok pemimpin seperti itu. Di masa lalu, Indonesia memiliki figur tegas dan bersahaja dalam sosok Jenderal Pol (purn) Hoegeng. Keberaniannya berkata tidak terhadap suap dan korupsi menjadi legenda hingga kini. Sampai-sampai muncul anekdot terkenal tentang polisi. Bunyinya, di Indonesia hanya tiga polisi yang tak mempan disuap, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.
Relasi Mutualisis
Ada banyak cerita menarik yang memperlihatkan bagaimana Hoegeng mempertahankan integritas dirinya secara konsisten meskipun ”dikeroyok” oleh rekan sejawatnya yang sudah menjadi bagian dari rezim maling, yang biasanya menoleransi berbagai bentuk suap sebagai hadiah terima kasih. Bagi dia, sepertinya tidak ada kesulitan komunal di tengah lingkungan yang korup untuk menyiasati seribu jurus dari para penyuap yang ingin memengaruhi jabatannya dan menghancurkan kewibawaannya dalam menjalankan tugas.
Salah satunya, ketika tiba di Medan untuk memulai penugasannya sebagai Kaditreskrim Kepolsian Sumut pada 1950-an, ia pernah mengusir pengusaha keturunan Tionghoa yang menjadi ketua penyambutan dirinya dengan hadiah sebuah mobil dan peralatan rumah tangga yang sudah mengisi rumah dinasnya. Padahal, menurut Hoegeng, tidak mungkin semua itu bisa dibeli dari pendapatannya (Yusran dan Ramadhan K.H., 1994).
Kelak, ketika menjabat Kapolri, Hoegeng pernah meminta istrinya untuk mengembalikan satu petu peralatan rumah tangga modern yang cukup mewah dari seorang pengusaha yang beperkara dan dikirimnya ke rumah Hoegeng ketika si pengusaha tak bisa memengaruhi Hoegeng. Kasus pengusaha cantik itu akhirnya diteruskan ke pengadilan dan ia divonis hukuman penjara.
Hubungan patronase antara pejabat dan pengusaha dalam bisnis bukan saja menimbulkan distorsi ekonomi, tapi juga rezim korupsi yang sulit diatasi karena merupakan perkawinan kekuasaan politik dan uang. Kleptorasi Orde Baru hingga lebih dari 30 tahun dengan hampir tidak ada gangguan oposisi yang berarti bisa terjadi lantaran ditopang oleh konglomerat dan militer yang loyal.
Hubungan patronase ini langgeng karena dibangun oleh relasi mutualisis, saling menguntungkan. Di dalam situasi ketika penguasa memiliki pengaruh politik yang sangat besar dan dunia usaha lemah, seperti pada era pemerintahan Soeharto, pengusaha menjadi kaki tangan penguasa untuk membobol ekonomi negara.
Semasa Hoegeng menjabat menteri iuran negara, kolusi pejabat dengan kalangan pengusaha sudah menggejala. Namun, sekali lagi Hoegeng terbebaskan dari realitas budaya yang menyimpang tersebut. Ketika ada seorang arsitek dan pengusaha yang berinisiatif untuk merenovasi tempat tinggal Hoegeng yang dinilainya tidak layak bagi taraf seorang menteri dan si pengusaha merayu Hoegeng dengan gigih agar menyetujui renovasi itu dengan anggaran yang akan diajukan sebagai rencana pengeluaran negara dari pos menteri iuran negara, Hoegeng menolaknya mentah-mentah (Teten Masduki, 2010:328).
Di benak Hoegeng, saat itu dirinya adalah seorang menteri yang harus mengisi kas negara, bukan mengeluarkan uang negara untuk kepentingan sendiri. Rumah dinas untuk perwira polisi tersebut dibiarkannya sebagaimana adanya.
Realitas Korupsi Legal
Betapa kontradiktifnya sikap Hoegeng dengan realitas saat ini. Pemborosan uang rakyat untuk kepentingan pribadi pembuat kebijakan sudah menjadi lumrah. Penyimpangan APBD dan APBN dipakai untuk kepentingan pribadi para oknum anggota dewan mulai tingkat gaji tinggi yang sesuka-sukanya hingga urusan mesin cuci bagi rumah tangga mereka. Sekarang hampir tidak ada yang merasa berdosa dan malu melakukannya.
Seorang anggota dewan yang seharusnya mengawasi anggaran pembangunan guna kemakmuran rakyat bisa menjadi pencuri uang rakyat itu dengan dalih hak bujet yang dimilikinya. Sesungguhnya inilah yang disebut korupsi sistematis itu. Celakanya, korupsi demikian di mata penegak hukum yang posivistik sempit tidak bisa disentuh oleh hukum karena dibuat oleh pejabat yang memiliki kekuasaan resmi. Jadi, meminjam istilah Teten Masduki, secara tidak resmi sekarang ada kosakata baru: korupsi legal!
Maka, ketika perilaku koruptif seperti sekarang ini merajalela, kita tentu merindukan sosok pelayan masyarakat seperti Hoegeng. Sayangnya, saat ini sulit sekali mencari ”Hoegeng Baru” di tengah berkuasanya hedonisme dan kepentingan-kepentingan sempit saat ini. Mungkin bukan pada tempatnya menjadikan teladan Hoegeng sebagai cerita lama atau kenangan masa lalu yang indah. Nilai-nilai antikorupsi yang diperjuangkan Hoegeng harus tetap hidup dan diperjuangan generasi berikutnya.
Memang bukan perkara gampang membasmi korupsi di tengah budaya, sistem politik, sistem birokrasi, dan sistem hukum yang tidak mendukung. Namun, sebelum semua sistem yang kian bobrok ini sempurna, mulailah dari sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H