Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu... profesional -

Hingga Januari 2015, penggemar wedang kopi ini baru menulis 30 buku. Kini ia melanjutkan sekolah di Pascasarjana Unitomo Surabaya. Alasan utamanya kuliah S-2 adalah menghindari omelan istri.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pers Kapitalis Semangat Zaman

28 Maret 2015   10:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:53 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dulu saya pernah bilang ke nyonya bahwa jangan pernah bangga bersuami pekerja pers kendatipun berada di naungan media besar nan prestisius. Mengapa? Sebab, corak dan semangat pers saat ini lebih mengedepankan keuntungan serta kepentingan belaka. Tak ada kebanggaan tanpa tantangan.

Apa pasal? Ibarat telur dierami, seperti itulah kondisi sebagian awak pers (besar) kini. Sangat nyaman. Ndilalah, wartawan senior Rosihan Anwar pernah mengkritik pedas situasi tersebut.

”Pada masa sekarang ini kita tidak lagi hidup dengan pers perjuangan rakyat, pers nasional yang antikolonialisme, anti imperialisme Belanda. Pers perjuangan masa itu memelihara tradisi yang jadi pegangan wartawan yang menghendaki Indonesia merdeka. Tradisi pers adalah melindungi rakyat terhadap kezaliman, ketidakadilan sebagaimana dimaklumni di zaman kolonial rakyat Indonesia menderita karena penjajahan,” ujarnya dalam pengantar buku Jernih Melihat Cermat Mencatat karya Marthias Dusky Pandoe (Penerbit Buku Kompas, 2010).

Belum cukup sampai di situ. Rosihan menuturkan bahwa pers sekarang berorientasi bisnis dan ini tak bisa dihindari karena merupakan bagian dari semangat zaman (zeithgeist).

”Orang boleh menyesali dan meratapi gejala ini. Tapi, hukum besi perkembangan modal berjalan terus. Pers kapitalis sudah suatu realitas. Wartawan dan karyawannya hanya pekerja ’makan gaji’ melayani ’induk semang’, yakni pemilik kapital. Janganlah lagi bicara tentang hidup bercita-cita tentang idealisme. Sudah tak relevan,” tegasnya.

Gila! Kalimat itu betul-betul sangat menohok. Padahal, Rosihan sedang memberikan pengantar untuk buku karya Pandoe, wartawan senior yang telah bekerja 20 tahun di harian Kompas hingga masa pensiunnya. Sebelum berdinas di Kompas, Pandoe (kelahiran Kabupaten Agam, 10 Mei 1930) tercatat pernah bertugas di beberapa media lokal di Sumatera Barat seperti koran sore Keng Po, Pemandangan, Abadi, dan Aman Makmur. Apakah sudah tuntas ”kecaman” Rosihan? Belum. Perhatikan ucapan beliau di bawah ini.

”Baiknya bicara gaji wartawan dan karyawan yang bagus. Kalau dapat gaji, minimal 15 kali setahun, mengenai rumah sendiri, kendaraan mobil, dan alat-alat kelengkapan komunikasi untuk bekerja yang berkaitan dengan teknologi informasi terbaru. Jangan lupa mengenai liburan sekali setahun bersama keluarga, around the world bagi sudah senior. Pendek kata, kehidupan materi yang enak disediakan dan dijamin oleh majikan pers kapitalis. Itulah situasinya. Habis cerita. Titik. Wartawan yang tidak kebagian dalam kenikmatan, terimalah nasibmu,” tuturnya.

Maka, saya tak pernah merasa bangga dan membusungkan dada meskipun bernaung di sebuah media besar. Satu-satunya kebanggaan yang bisa saya kedepankan adalah cita-cita menjadi guru sebagai panggilan jiwa. Apesnya, berkali-kali saya mengajukan lamaran kerja sebagai guru, berkali-kali pula saya tidak mendapat panggilan untuk sekadar ikut tes mengajar atau wawancara. Ternyata, berwajah manis, berpengalaman, berintonasi kuat, berkharisma, dan berbisnis batik tidak cukup untuk memenuhi syarat sebagai guru SMEA.

Sidoarjo, 28 Maret 2015

https://mustprast.wordpress.com/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun