Pemerintahan Presiden Joko Widodo resmi menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi sebesar Rp 2.000 per Selasa, 18 November 2014. Dengan demikian, harga premium menjadi Rp 8.500 dan solar Rp 7.500. Kebijakan ini dinilai sangat tidak populis ketika harga minyak dunia justru turun.
Berdasar data Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2014 tercatat 28,28 juta atau 11,25 persen. Namun, angka-angka yang dirilis itu jangan buru-buru kita telan. Sebab, fakta di lapangan dengan total penduduk sekitar 250 juta jiwa, penyandang kemiskinan bisa jadi lebih banyak dari angka tersebut.
Di Indonesia, sebagaimana biasa terjadi, kenaikan harga BBM membawa dampak tersendiri. Yang paling lazim, hal itu diikuti dengan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Termasuk, naiknya ongkos transportasi dan efek lain-lain yang mengekor di belakangnya.
Sudah tentu masyarakat kecil bakal terkena imbasnya. Sementara, beras untuk warga miskin saja, selain sangat tidak layak (berkutu dan bermutu jelek), kadang masih dikorupsi oleh oknum lurah. Masya Allah! Semoga saja angka balita gizi buruk tidak semakin meningkat di tahun-tahun yang bakal berat ini.
Namun, ada hal yang patut kita cermati di balik naiknya harga BBM ini. Pertama adalah kebijakan partai utama pengusung sang presiden (PDI Perjuangan). Kita tentu belum lupa bagaimana Rieke Dyah Pitaloka dan para politikus PDI-P terang-terangan menentang kebijakan pemerintahan SBY ketika harga BBM bersubsidi dinaikkan menjadi Rp 6.500. Bahkan, poster-poster bergambar banteng moncong putih bercorah merah menyala ditulisi kalimat: Kenaikan BBM Tidak Pro-Rakyat!
Kini kita yang melihat para penentang itu mencoba mencari-cari alasan yang dipas-paskan untuk mendukung kebijakan pemerintahan Jokowi yang menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun, sebagai rakyat yang baik, saya masih berusaha menunggu realisasi janji Pak Presiden (di antara 66 janji kampanyenya di masa pilpres). Misalnya, memenuhi janji kontrak politik dengan korban lumpur Lapindo, membuka 10 juta lapangan kerja baru, dan menyuntikkan dana Rp 1 juta per bulan untuk keluarga prasejahtera.
Dunia politik tanah air acapkali lekat dengan intrik dan kebohongan. Pak Jokowi setidaknya sudah melakukan dua kebohongan. Pertama, ia tidak menuntaskan kepemimpinan di DKI Jakarta sebagaimana janjinya pada Pilgub DKI. Kedua, faktanya dari kabinetkerja yang dibentuk masih tercium aroma bagi-bagi kursi kendatipun ada pula profesional yang disertakan (yang tak sesuai dengan janjinya bahwa kabinetnya bersih dari politik transaksional).
Saya percaya bahwa Pak Jokowi adalah orang yang taat beragama. Bahwa segala sesuatu, termasuk kegiatan politik, sejatinya bagian dari ibadah. Semoga keputusan-keputusan politiknya membawa manfaat buat rakyat dan didasarkan pada kepentingan bangsa. Bukan semata karena kepentingan partai, apalagi pihak asing. Harapan saya sebagai rakyat cukup sederhana, semoga Bapak Presiden menanggalkan label pekerja partai agar bisa bekerja tulus untuk rakyat. Amin.
Sidoarjo, 18 November 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H