Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu... profesional -

Hingga Januari 2015, penggemar wedang kopi ini baru menulis 30 buku. Kini ia melanjutkan sekolah di Pascasarjana Unitomo Surabaya. Alasan utamanya kuliah S-2 adalah menghindari omelan istri.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Buku Membaca atau Mati!

1 April 2014   08:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:14 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam buku Ubah Takdir lewat Baca dan Tulis Buku (Litera Media Center, 2011), sastrawan Suparto Brata mengatakan bahwa sekolah harus mewajibkan para siswanya membaca. Ia berkaca pada pengalamannya semasa duduk di sekolah rakyat (setingkat SD). Hampir tiap hari seluruh murid di masa itu berkutat dengan bacaan sastra Jawa, sastra Melayu, dan sastra Belanda.

Di halaman 15 buku tersebut, Suparto bahkan menyebutkan bahwa membaca menjadi kurikulum paling utama. Di bab berikutnya, ia menyayangkan kultur membaca –terutama sastra– mulai pudar di sekolah-sekolah masa kini.

Pada pertengahan 1990-an, budayawan Taufiq Ismail menguatkan argumen Suparto. Taufiq yang juga kerap menuliskan puisi untuk lirik lagu Bimbo mengatakan bahwa terjadi tragedi nol buku di kalangan siswa SMA Indonesia. Yang dimaksud adalah bacaan sastra.

Untuk itu, saya menghimpun dan mengajak kawan-kawan penulis dari kalangan alumni IKIP Surabaya (Unesa) turun gelanggang terhadap persoalan ini. Pada Desember 2013, kami meluncurkan buku Membangun Unesa Melalui Budaya Literasi (Revka Petra). Rata-rata tulisan di situ masih bersifat ilmiah karena sasarannya memang civitas academica Unesa.

Menjelang Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada Mei mendatang, kami merencanakan penerbitan buku literasi kembali. Tetapi, segmen pembacanya lebih luas. Mulai pelajar, mahasiswa, guru, ibu rumah tangga, hingga tokoh publik.

Tadi malam saya mulai bergerilya ke rumah maya beberapa rekan alumnus. Sudah terkumpul 20 tulisan dari tiga penulis, yaitu Satria Dharma (IGI), Pratiwi (kandidat doktor di University of Melbourne), dan Khoiri (Jaringan Literasi Indonesia). Kebetulan ketiganya merupakan pegiat dan penggerak literasi di komunitas masing-masing. Tentu saja saya masih harus mengumpulkan 79 tulisan lagi dari para aktivis literasi alumni IKIP Surabaya lainnya.

Namun, ternyata saya sudah menemukan alternatif judul untuk buku ini. Itu diambil dari salah satu tulisan Satria pada 2009, Membaca atau Mati! Kami berencana menerbitkannya secara swadaya terlebih dahulu sembari menunggu adanya penerbit besar yang berkenan bekerja sama.

Satu hal yang pasti, buku ini menjadi penting di tengah semangat menumbuhkan budaya literasi di tanah air. Momennya pun pas: menjelang ujian nasional. Tapi tunggu dulu, bukan berarti buku ini mengajak pelajar untuk membaca buku demi lulus ujian nasional. Garansinya: jika budaya membaca kita baik, dijamin peradaban bangsa kita akan tetap hidup. Jadi, membaca atau mati!

Surabaya, 1 April 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun