Dengan setengah bergurau, saya berpesan kepada novelis Md. Aminudin untuk tidak terlalu produktif menulis novel. Harus ada jeda. Kami saat itu tengah berdiskusi tentang beberapa agenda literasi tahun ini. Perbincangan pun sampai pada rencana publikasi karya kami masing-masing.
Nasihat itu bukan karena saya tidak ingin ”berkompetisi” dalam hal menulis buku. Bukan. Kendati nadanya guyon, saya melihat sisi unik fiksi yang perkembangannya saat ini banyak didominasi selera pasar.
Dalam karya fiksi seperti novel, misalnya, alasan komersial untuk pemenuhan selera pembaca membuat penerbitan novel bak air bah. Tak terbendung. Hampir tiap bulan ketika silaturahmi ke toko buku, mudah saya jumpai novel-novel baru dengan berbagai genre.
Satu hal yang mendasari pesan saya tadi adalah kejenuhan. Produktivitas yang hanya memenuhi selera pasar berpeluang memerangkap pembaca dalam kebosanan. Contohnya, Habiburrahman El Shirazy. Setelah Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih mendapat sambutan hangat di masyarakat, karya-karya lain Habiburrahman terus mengalir. Karena sudah mudah menebak tema dan jalan ceritanya, saya merasa jenuh.
Yang saya ingat adalah strategi pemasaran ala J.K. Rowling. Novel laris Harry Potter selalu dinanti-nanti pembacanya karena ada jeda yang lumayan panjang. Misalnya, penerbitan antara seri yang satu dengan seri lainnya bisa memakan waktu tiga tahun. Dampaknya, ketika Harry Potter edisi terakhir diluncurkan di Inggris, pembaca rela berkemah dan menginap di depan toko buku yang menjual seri itu. Di Hongkong, pembaca dewasa dan remaja bahkan mengular hingga ratusan meter dalam beberapa shaf. Gila!
Menurut saya, bagi seorang penulis terutama fiksi, memainkan emosi pembaca itu penting. Ia harus mampu membangun chemistry dengan mereka. Sebab, pada dasarnya karya fiksi bukan hanya rekaman imajinasi yang liar tanpa pesan moral.
Intinya, perlu ada kesadaran bahwa buku –apa pun bentuknya– bukan sekadar seonggok kertas tebal dengan huruf bercetak. Sebab, saya yakin di dalamnya terdapat ide para penulisnya. Misalnya, saat membaca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), kita bisa sosiologi. Ketika membaca Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), kita dapat belajar kebudayaan. Tatkala membaca tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer, kita bisa mempelajari apa yang disebut ideologi.
Bahkan, kita pun dapat belajar tentang keteguhan dalam biografi tokoh-tokoh hebat macam Che Guevara, Mahatma Gandhi, hingga Mother Theresa. Kesimpulannya, penulis punya tanggung jawab moral kepada masyarakat, bukan sekadar mengejar produktivitas belaka demi selera pasar.
Sidoarjo, 30 Maret 2014
(Menjelang berangkat ke acara soft launching Bina Qolam Indonesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H