”History of the world is the biography of the great man…”
Thomas Carlyle
*****
Mohon izin untuk membandingkan dua insinyur ini. Yakni, Ir Joko Widodo dan Ir Tri Rismaharini. Joko Widodo atau Jokowi pernah menjabat wali kota Solo, sedangkan Risma –sapaan Tri Rismaharini– masih menjabat wali kota Surabaya.
Selama berada di bawah pimpinan Jokowi, Kota Solo melesat. Penataan pedagang kaki lima (PKL) dilakukan dengan cermat. Pengembangan potensi wisata di pusat kota berlangsung baik. Solo benar-benar menjadi kota budaya yang nyaman dan asri.
Bagaimana dengan Surabaya di bawah Risma? Hampir sama. PKL ditata agar tidak mengganggu keelokan kota. Untuk pengembangan potensi wisata dan rekreasi keluarga, Risma (sejak kepala bappeda dan kepala dinas pertamanan) mulai mendirikan taman-taman di berbagai sudut kota. Ruang terbuka hijau diperbanyak. Ia pun dijuluki wali kota seribu taman.
Namun, perbedaan paling kentara antara Ir Jokowi dan Ir Risma ialah kepedulian terhadap dunia literasi. Mungkin ini hanya subjektif saya, tetapi fakta soal ini bisa ditelusuri dari rekam jejak keduanya melalui media dan buku-buku yang memuat profil mereka.
Risma pernah mengatakan bahwa indeks pembangunan manusia di Surabaya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk mengejar ketertinggalan di berbagai sektor, kuncinya adalah mencetak SDM-SDM yang berkualitas. Maka, gerbangnya pun ditunjuk, yakni dunia pendidikan. Karena ”sasaran tembak” utamanya ialah generasi muda, peluru yang dipilih adalah program literasi. Seingat saya, embrionya sudah digodok lama, namun baru benar-benar diluncurkan pada tahun 2013 dengan tajuk Program Kota Literasi yang bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Segenap elemen pendidikan di Kota Pahlawan digandeng untuk menyukseskan program ini.
Saat saya menghadiri forum pertemuan kepala sekolah se-Surabaya pada medio 2014 yang menghadirkan Ketua Umum IGI Satria Dharma dan Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Surabaya Arini, fotokopi potongan berita di Jawa Pos hari itu disebarkan kepada para hadirin. Isinya: Kurikulum wajib baca diterapkan di Surabaya.
Instruksi dari Risma jelas: setiap sekolah di Surabaya harus membudayakan membaca kepada seluruh warga sekolahnya. Di beberapa sekolah di Surabaya, terdapat papan yang bertulisan buku gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Atmosfer membaca ini sangat terasa saat pagi hari sebelum jam mata pelajaran dimulai.
Berkenaan dengan hal itu, Presiden Jokowi menyatakan optimisme bahwa Indonesia siap menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Desember 2015. Benarkah?
Saat ini negara kita tengah dilanda gejolak politik, ekonomi, dan sosial budaya yang berimbas pada terutama kesejahteraan rakyat kecil, tak kunjung muncul proyek strategis membangun budaya membaca. Proyek strategis yang dimaksud di sini bukan berkenaan soal materi.
Pemerintah agaknya masih terpesona dan terpaku pada ”tiang penyangga” seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya. Fondasinya, yaitu budaya literasi, tidak diperkuat dahulu.
Kemelut pendidikan, tragedi kemiskinan, dan karut-marut politik akan jadi problem abadi apabila fundamentalnya tidak dibereskan. Yaitu budaya literasi! Memang mewujudkan hal ini membutuhkan waktu yang lama.
Karena itu, kita perlu pemimpin visioner untuk merealisasikan dan menciptakan atmosfer budaya literasi di negeri ini. Bukan pemimpin yang selalu enteng mengatakan, ”Itu bukan urusan saya.”
Di situ saya kadang merasa sedih….
Sidoarjo, 29 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H