Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu... profesional -

Hingga Januari 2015, penggemar wedang kopi ini baru menulis 30 buku. Kini ia melanjutkan sekolah di Pascasarjana Unitomo Surabaya. Alasan utamanya kuliah S-2 adalah menghindari omelan istri.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bersahabat Tanpa Syarat

30 November 2014   20:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:26 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juangkrik! Jumat pagi itu (29/11), gara-gara Cak Yasin (pengurus IGI), dengkul kanan saya disuntik dua kali oleh dr Alif SpOT, kawan kami yang sebentar lagi berdinas di RSU Depok. Karena pernah merasakan bagaimana njaremnya saat dengkul disuntik, pagi itu saya minta izin menarik napas dulu. Baca bismillah sudah. Tinggal menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Saya disuntik di dalam mobil, tepat di depan kos dr Alif di Jalan Sumbawa, Surabaya. Suasana di sekitar tak seberapa riuh. Angin berdesir di telinga saya seraya berucap, ”Kapokmu kapan?”

Sementara Riski, anak ketiga Cak Yasin yang sudah duduk di TK A, begitu bahagia melihat saya akan segera bengok-bengok saat disuntik. ”Habislah kau!” ucap Riski lantas terkekeh. ”Apa permintaan terakhir sampean?” tanya Cak Yasin. ”Sampaikan permintaan maafku ke nyonya karena aku sering memakaidalemannya tanpa izin,” ucap saya yang kian lemas ketika melirik eksekutor sudah menyiapkan dua suntikan kaliber 5 mili.

Menjelang detik-detik eksekusi, Cak Yasin memperbesar volume radio SAS FM di dalam mobil Xenia gelap yang membawa kami pagi itu. Ada ceramah dari Ustad Yunus, pengurus MUI Jatim yang juga pemilik Qiswah Tour, biro haji dan umrah yang satu kantor dengan Sirikit School of Writing. Badan saya menggigil. Pucat. ”Asyhadu anla illaha illallah. Waasyhadu anna Muhammadar Rasulullah….”

”Bismillah, saya siap disuntik, Dok. Silakan,” ucap saya kepada dr Alif.

*****

Sabtu petang sepulang kuliah ada yang bergetar di antara sela paha saya. Posisi saya saat itu sedang berada di atas boncengan sepeda motor dan memeluk erat pinggang nyonya. Getaran itu semakin lama semakin kuat. Saya pucat pasi. ”Jangan-jangan ada nyambik (biawak kecil) yang masuk ke dalam celana,” pikir saya. Tidaaak!!!

Nyonya akhirnya menepi. ”Kenapa, Mas?” tanyanya khawatir.

”Ada nyambik di dalam celanaku. Tolong ambilkan, Dik.”

”Bukan nyambik, Mas, tapi HP kamu bergetar. Nih,” gerutunya sambil menyodorkan ponsel itu.

Saya melihat ada nama Cak Yasin di sana. ”Siap Ndan. Ada yang bisa saya utangi?”

Dengan nada tinggi, Cak Yasing mengabarkan bahwa ada sahabat Letjen (pur) Prabowo Subijanto di rumah. ”Sopo Cak? George Benson tah?”

”Bukan. Mas Habe! Ya! Mas Habe sekarang ada di rumahmu.”

Setelah telepon ditutup, saya menghubungi Pak Mat, bakul sate kambing paling kondang di Sukodono.”Pak, pesen pempek kapal selam super dan pempek lenjer lima kotak ya.” Pak Mat mendadak emosi. Saya ternyata keliru memencet nomor. Seharusnya nomor HP Ny Farina, depot pempek di Jalan Pahlawan, Sidoarjo.

Sesampai di rumah, ternyata tidak ada Avanza hitam berpelat nopol Kota Malang. Yang ada hanya skuter matik warna hitam. ”Ini pesanan pempeknya, Pak,” ujar perempuan muda pemilik skuter tersebut. Saya mengeluarkan sejumlah uang dan menyerahkan kepadanya. ”Qobbiltu…!”

Saya lantas menghubungi Cak Yasin. Ia menjawab singkat bahwa Mas Habe sudah meluncur ke Malang.Tak terasa air mata ini menetes pelan.”Sudahlah Mas. Nggak usah sedih begitu,” hibur nyonya. ”Bukan itu, Hans. Kaki kananku yang baru disuntik keinjek ban sepeda motormu. Huaaaaaa…. Loro nda,” teriak saya.

Malam itu saya tak langsung tidur. Mengerjakan tugas psikologi komunikasi dari Dr Tony Sukasah dengan mengambil topik kisruh di tubuh Golkar saat ini dan mengedit naskah buku dies natalis emas Unesa. Saya menganalisis bahwa perteruan antara kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie disebabkan tereduksinya semangat Revolusi Putih. Yakni mengganyang keserakahan dan membangun ketulusan.

Hari itu saya belajar bahwa ada pejabat egaliter yang tidak merasa dirinya pejabat karena memang tidak menjabat. Ia datang jauh-jauh dari Jakarta ke Malang mampir Sukodono untuk menjenguk saudara mudanya. Bukan untuk memperjuangkan korps Istikomah, tetapi murni merekatkan tali silaturahmi. Saling mendukung dalam situasi apa pun tanpa memandang derajat, jabatan, dan pangkat. Itulah sahabat dan inti dari Revolusi Putih: Bersahabat tanpa syarat.

Sidoarjo, 30 November 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun