Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu... profesional -

Hingga Januari 2015, penggemar wedang kopi ini baru menulis 30 buku. Kini ia melanjutkan sekolah di Pascasarjana Unitomo Surabaya. Alasan utamanya kuliah S-2 adalah menghindari omelan istri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Amplop di Hajatan

23 Agustus 2014   02:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:48 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dilema. Itulah yang bakal dirasakan jika ada undangan hajatan, baik pernikahan maupun khitan. Hal ini terkait amplop. Bukan soal amplopnya, tapi isinya.

Di sebagian masyarakat kita, dikenal ”budaya amplop” dalam sebuah pesta hajatan. Bahkan, ada tuan rumah yang terang-terangan menulis ”tidak menerima kado berupa bingkisan atau barang”. Bila diterjemahkan ke bahasa bebas, sohibul hajat hanya menerima amplop berisi uang.

Ketika masih tinggal di Bekasi Timur, saya mencatat banyak pengalaman unik mengenai fenomena ”amplop” tersebut. Ada warga, terutama di perkampungan, yang gemar menyelenggarakan hajatan demi memperoleh ”amplop” itu.

Di sebuah kabupaten di Jawa Timur, ada kebiasaan yang beda lagi. Tuan rumah biasanya mencatat nominal dari isi amplop yang diperoleh. Ini memiliki maksud tersendiri. Yaitu, seolah-olah ada kewajiban untuk ”mengembalikannya” apabila si pemberi amplop punya hajatan dan mengundangnya.

Namun, di antara semua itu, ada suatu hal yang kurang mengenakkan. Yakni, budaya rasan-rasan di sebagian warga terkait amplop-amplopan ini. Jangan amplop, lha wong saya pernah ngasih angpao Lebaran kepada anak-anak sekitar sebesar Rp 10 ribuan. Itu pun kena rasan-rasan mereka. ”Ih, masak Pak RT cuma ngasih Rp 10 ribu. Pelit amat,” selorohnya dalam suara yang samar-samar masih bisa saya tangkap.Saya berusaha menenangkan diri dan mengucapkan kata motivasi: ”Diamput!”

Apakah precil-precil ini belum mendapat materi pendidikan karakter yang diunggulkan dalam kurikulum 2013? Saya sih sanggup saja memberi masing-masing Rp 100 ribuan, tapi bisa dipastikan keesokan hari saya akan menjual sofa. Hellooooow….. Ketahuilah anak-anakku, Bapak ini bukan ketua Mahkamah Konstitusi, tapi ketua RT yang sering menerima proyek tengkyu.

Kembali ke amplop, dilema seperti itulah yang bakal terbayang-bayang di benak. Masyarakat kita memang semakin kritis. Terbukti, ngamplop yang isinya Rp 25 ribu dianggap kebangetan, Rp 50 ribu dapat komentar ”kok hanya segini”, Rp 100 ribu dinilai standar banget. Wis embuh rek!

Asal tahu yak, ketika hajatan nikah dulu, ketua RT sampeyan ini pernah mendapat beberapa amplop tanpa nama yang artinya sama dengan ucapan ”Anda belum beruntung” alias amplop kosong. Maka bersyukurlah mendapat ketua RT yang peka untuk sekadar urusan amplop!

22 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun