Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu... profesional -

Hingga Januari 2015, penggemar wedang kopi ini baru menulis 30 buku. Kini ia melanjutkan sekolah di Pascasarjana Unitomo Surabaya. Alasan utamanya kuliah S-2 adalah menghindari omelan istri.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bicara Film 99 Cahaya di Langit Eropa

9 Januari 2014   02:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:00 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13892076911148685178

[caption id="attachment_289135" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: pontianak.tribunnews.com"][/caption] Sebagai anggota sufi (suka film), ada beberapa film yang sangat ingin saya tonton bulan ini. Di antaranya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, 47 Ronin, dan The Secret Life of Walter Mitty.

Tetapi, sebenarnya saya menunggu premiere film yang dibintangi para comic yang pernah meramaikan Stand Up Comedy di Kompas TV plus Indro Warkop. Saya lupa judulnya. Yang jelas, saat nonton film Soekarno akhir Desember lalu, film tersebut dijadwalkan nongol di bioskop akhir Januari 2014.

Saya tidak meragukan kapasitas comic macam Ari Kriting, Pico, Babeh Chabita, Boris Bokir, dan lain-lain dalam mengocok perut. Meskipun, menurut saya, guyonan cerdas dalam stand up comedy Indonesia masih dipegang Cak Lontong.

Ada satu lagi film lokal yang kini jadi perbincangan pencinta film Indonesia. Yakni, 99 Cahaya di Langit Eropa. Beberapa kawan menyatakan tertarik nonton film ini. Mereka penasaran lantaran banyak yang bilang film ini bagus.

Saya sendiri telah membaca novel berjudul sama yang akhirnya dilayarlebarkan itu. Kepada seorang sohib di Kota Malang, saya bilang jangan berharap banyak pada film yang diadaptasi dari sebuah karya fiksi atau novel. Siap-siap kecewa. Misalnya, film V for Vendetta yang sebenarnya sinematografinya ciamsor mama itu atau Ayat-Ayat Cinta yang pernah begitu booming pada 2008. Baru-baru ini film Sokola Rimba yang dibesut Riri Reza menuai reaksi sama dari sebagian penikmat film: tidak semenarik bukunya.

Masih ingat film Sang Pemimpi yang diadaptasi dari novel tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata? Mboseni. Kali ini Edensor diangkat ke layar lebar dan sambutan para sufi lesu. Padahal, saya menilai bahwa novel Edensor jauh lebih bagus ketimbang Laskar Pelangi yang melambungkan nama Andrea Hirata itu.

Hal ini sebenarnya wajar. Sebab, plot pada film dan novel bisa berbeda. Andrea Hirata pernah mengakui itu saat pembuatan film Laskar Pelangi di Belitong.

Kekhawatiran serupa saya rasakan di 99 Cahaya di Langit Eropa. Film ini memang mampu menarik penonton dari kalangan pendidik, pelajar, serta mahasiswa. Wabil khusus penggemar novel inspiratif. Tapi, saya tak mau membedah lebih jauh film ini.

Jika Anda tetap memaksa saya meresensi film ini, maaf saya keukeuh untuk tidak bersedia. Tolong jangan tarik-tarik tangan saya begitu dong! Film ini sebenarnya tak begitu menarik, terutama jika Anda ketiduran saat pemutarannya di bioskop. Itulah yang menimpa saya menjelang Tahun Baru 2014.

Sidoarjo, 9 Januari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun