Beberapa waktu lalu muncul berita yang belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. Ini berkaitan dengan rencana Kemendikbud mewajibkan siswa SMA menulis skripsi. Di salah satu forum diskusi, banyak yang bilang bahwa berita itu hoax.
Namun, saya tak hendak mengupas benar atau tidaknya berita tersebut. Saya berpikir dan berandai-andai apabila para pelajar SMA benar-benar diwajibkan menulis skripsi. Pasti nyahok!
Betapa tidak, lha wong banyak mahasiswa yang masih kelabakan menulis skripsi, bahkan ada saja yang mencoba berbuat culas dengan memanfaatkan jasa joki skripsi. Kalau siswa SMA sudah diharuskan membuat skripsi, pasti terjadi pro-kontra layaknya ujian nasional (UN).
Ketika budaya menulis di kalangan pelajar Indonesia belum bisa dikatakan menggembirakan, kewajiban menulis skripsi bagi mereka tentu saja rawan menuai persoalan. Ujung-ujungnya, yang dikhawatirkan justru budaya salin tempel (copy paste).
Saya ingin berkaca pada diri sendiri. Selama mengenyam bangku SD hingga SMA, saya hanya piawai menulis kalimat: "Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi" sebanyak satu lembar full.
Pelajaran menulis yang muncul di pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kita ternyata belum mampu meningkatkan keterampilan menulis siswa. Apalagi jika guru mengajarkan dengan model yang kaku dan membosankan.
Sejatinya, saya setuju apabila karya tulis ilmiah remaja diberlakukan bagi pelajar tingkat SMA. Mengapa? Sebab, kemampuan menulis KTI akan berguna jika mereka duduk di bangku kuliah. Syarat menulis di perguruan tinggi adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar.
Tetapi, melihat Kemendikbud belum memberikan perhatian besar pada pengembangan literasi (terutama creative writing), rasa-rasanya harapan bahwa siswa SMA menghasilkan skripsi itu terlalu muluk.
Kemendikbud masih sibuk pada tataran formalitas seperti sertifikasi dosen dan guru, kurikulum 2013, atau ujian nasional. Pembangunan sumber daya manusia tampaknya belum menjadi kesadaran untuk segera membuat keputusan solutif atas berbagai persoalan di dunia pendidikan kita. Padahal, persaingan bebas tingkat ASEAN sudah mengintip tahun depan.
14 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H