Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu... profesional -

Hingga Januari 2015, penggemar wedang kopi ini baru menulis 30 buku. Kini ia melanjutkan sekolah di Pascasarjana Unitomo Surabaya. Alasan utamanya kuliah S-2 adalah menghindari omelan istri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Seragamnya

11 Februari 2015   14:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:27 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dahlan Iskan pernah punya pengalaman tentang guru pada medio 2008. Saat itu ia disalami empat orang di lantai empat Graha Pena Surabaya, kantor redaksi Jawa Pos.

Semula Dahlan sempat bingung karena keempatnya memakai seragam mirip anggota hansip. Setelah ngobrol, baru diketahui bahwa empat orang tersebut adalah guru asal Kabupaten Sidoarjo.

Dahlan mengatakan, ”Akal sehat saya masih sulit menerima bahwa yang saya hadapi itu adalah sosok seorang guru, pendidik, dan pembina para siswa.”

Mantan menteri BUMN itu mengira mereka dari bagian ketertiban pemda. Salah seorang guru tersebut akhirnya menjelaskan bahwa pada hari-hari tertentu guru di daerah harus memakai seragam yang dikenakan pegawai negeri pada umumnya di daerah itu.

Menurut Dahlan, profil guru dalam bayangannya adalah sosok yang mengenakan pakaian rapi, necis, dan ramah. ”Ternyata kini sudah berubah,” ucap pria kelahiran Magetan tersebut.

Ia mendapat kesan, dengan seragam seperti itu, profil guru tersebut agak menakutkan, setidaknya menjadi sangat formal. Dahlan lantas bertanya kepada mereka apakah senang menggunakan seragam tersebut. Dengan kompak, mereka menjawab tidak bisa berkata senang atau tidak senang. Menurut salah seorang di antaranya, itu adalah peraturan yang harus mereka patuhi.

Pak Bos –sapaan Dahlan di kalangan awak redaksi Jawa Pos– menuturkan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan model pakaian seperti bagian ketertiban itu. ”Mungkin yang salah adalah pencitraannya,” ujarnya.

Karena model pakaian itu sudah lekat atau dicitrakan sebagai pegawai pemda dan citra pegawai pemda masih jauh dari citra pelayan masyarakat, kesan yang melekat pada pakaian tersebut adalah formal dan dinas. Pada zaman modern seperti sekarang, seorang guru bukan saja harus punya citra sebagai pengajar, tetapi juga teman si murid.

Apa yang dialami Dahlan Iskan pada 2008 itu saat ini masih terlihat, terutama di sekolah-sekolah negeri mulai SD hingga SMA. Setidaknya inilah yang saya lihat di Kabupaten Sidoarjo.

Apabila guru diharapkan jauh dari kesan angker, kaku, formal, dan menakutkan, maka boleh jadi busana yang dikenakan memiliki andil dalam membangun kesan itu. Lagi pula, saya pikir anggaran untuk seragam dinas para guru tersebut pasti sangat besar. Sebagai contoh, Pemkab Sragen mengalokasikan anggaran untuk seragam guru PNS sebesar Rp 1,9 miliar (Solo Pos, 2 September 2014).

Kebijakan penganggaran itu sangat mungkin menyisakan celah bagi pintu korupsi. Maka, ada baiknya pemda tidak perlu mengatur-atur persoalan seragam guru. Apalagi jika harus mirip petugas trantib yang kerap mengobrak-obrak pedagang kaki lima.

Serahkan saja soal busana itu kepada guru yang bersangkutan. Yang penting rapi, necis, sopan, dan wangi.

Sidoarjo, 11 Februari 2015

https://mustprast.wordpress.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun