Mohon tunggu...
prasetyo adhi
prasetyo adhi Mohon Tunggu... -

praktisi ekspedisi di jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Impor Solusi Bangsa Tidak Percaya Diri

25 April 2014   18:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:12 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernahkan mencoba mendata dalam hidangan makan malam, berapa banyak bahan makanan yang 100 persen dihasilkan oleh bangsa sendiri. Dimulai dari nasi, yang bahan dasarnya adalah beras, sudah menjadi kebijakan para pengambil keputusan, bila beras masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Tahun 2012 saja import beras mencapai 1.8 juta ton atau 1.8 milyar kilogram. Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan devisa sebesar 945 juta dollar Amerika, setara dengan 10 trilliun rupiah.

Sayuran dan buah setali tiga uang, tidak ada yang 100 persen produksi petani Indonesia, jeruk mandarin lebih mendominasi pasar disbanding jeruk Pontiakan ataupun jeruk Brastagi. Bahkan wortel china lebih mencolok disbanding wortel dari petani Garut. Tempe yang merupakan kearifan lokal dan diakui oleh dunia, bahan baku kedelai harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan tempe bagi 240 juta penduduk Indonesia.

Wilayah Indonesia yang terdiri atas 3.273.810 km persegi laut adalah sebuah kondisi dimana produk-produk kelautan bisa dipenuhi dari luasan wilayah tersebut. Tetapi Indonesia masih mengimpor garam pad tahun 2013 senilai 43,1 juta dollar Amerika atau setara dengan 475 milyar. Pertanyaan yang palin sederhana adalah tidak cukupkah air laut di Indonesia untukbahan dasar pembuatan garam ?.

IMPOR SEBUAH SOLUSI ?

Dalam perdagangan menjual dan membeli adalah hal yang menjadi dasar terjadinya perdagangan itu sendiri. Demikian halnya dengan perdagangan dunia, dimana barang yang tidak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri sebuah Negara, maka negera tersebut akan membeli dari lain. Demikian pula Indonesia, besarnya konsumsi dalam negeri membuat pemerintah harus membuat kebijakan membeli dari Negara lain. Kebijakan ini akan menjadi sebuah kebijakan yang bisa dipahami oleh seluruh bangsa adalah impor komoditas yang memang jarang diproduksi oleh bangsa Indonesia seperti misalnya gandum. Tetapi untuk importasi bahan pangan semisal beras, sayuran, buah bahkan garam, membuat rakyat bertanya, apakah pemerintah tidak mempersiapkan pemenuhan bahan pangan dalam rentang waktu yang panjang ?.

Importasi adalah solusi jangka pendek yang seharusnya dilakukan dengan rentanag waktu terbatas, misalnya selama lima tahun. Dalam rentang waktu tersebut diupayakan proses pemenuhan kebutuhaan sendiri di tahun ke enam. Akan tetapi impor tetap menjadi pilihan. Adakah kepentingan ekonomi dibalik maraknya importasi bahan pangan ?. Mencermati kebijakan pemerintah yang selalu mengedepankan impor, sudah pasti importer bahan pangan akan berusahan mempengaruhi arah kebijakan pemenuhan bahan pangan pemerintah. Importasi akan menguras devisa Negara selain berpotensi terjadinya manipulasi data barang yang masuksehingga merugikan penerimaan pajak impor.

Kebijakan pemerintah sepertinya sangat baik dalam tataran rancangan dan keputusan. Tetapi menjadi tidak ekektif saat kebijakan tersebut diimplementasikan dalam tataran eksekusi. Bahan pangan garam misalnya, melihat luasnya lautan Indonesia, sementara garam masih diimpor adalah sangat ironi. Pemetaan daerah dengan curah hujan yang sedikit sebagai sentra penghasil garam, layak dikedepankan. Nusa Tenggara Timur misalnya, bisa dijadikan sebagai sentra pembuat garam nasional. Sehingga nantinya akan terjadi keseimbangan dalam lalu lintas barang. Pada akhirnya biaya logistik akan menjadi murah, karena kapal pengangkut garam dari NTT merupakan kapalyang sebelumnya membawa beras dari pulau Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun