Mohon tunggu...
prasetyo adhi
prasetyo adhi Mohon Tunggu... -

praktisi ekspedisi di jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Joko Widodo dan Marhaenisme

27 April 2014   00:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marhaen, adalah istilah yang dipakai oleh Bung karno dalam menggambarkan kondisi rakyat Indonesia pada saat itu. Soekarno menyebutkan dalam buku di bawah bendera revolusi,marhaenjaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia jang melarat dan kaum melarat Indonesiajang lain-lain.Kenapa Soekarno memakai kata marhaen ?.Soekarno dalam pidato ulang tahun PNI menyatakan “ apa sebab saya memakai perkataan marhaen, tak lain tak bukan, ialah oleh karena saya pada suatu hari berjalan-jalan di sawah kiduluen cigalereng, saudara-saudara saya berjumpa dengan seorang yang sedang memacul, saya bertanya kepadanya, “Saudara, tanah ini siapa punya ?’. gaduh abdi…… sawahnya milik sendiri, paculnya milik sendiri, tetapi jembel, ia miskin, ia bukan proletar….. Saya Tanya ke padanaya : nama saudara siapa ?. Heh,abdi Marhaen“. Maka marhaen adalah nama seorang petani di daeran kiduluen, cigalereng , Bandung.

Bung karno menggarisbawahi bahwa marhaen adalah sosok petani dengan kepemilikan lahan, alat pertanian dan mengerjakan sawahnya sendiri, tetapi hasil dari jerih payahnya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bahkan marhaen miskin dan gembel. Marhen bukan pula seorang proletar ( kaum buruh ) kelompok masyarakat yang timbul sebagai bagian dari adanya kapitalisme, yang menjual tenaga untuk bisa mendapatkan penghidupan. Selanjutnya Bung karno mengatakan marhaenisme sebagai tjara-perdjoangan dan azaz jang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme….

Bung karno menempatkan marhaen sebagai istilah perjuangan dalam mempersatukan rakyat Indonesia dan melawan kemiskinan sebagai akibat dari kapitalisme dan imperialism. Pertanyaan selanjutnya adalah masih relevankah marhaenis, marhaenisme saat ini ?.

PEMIMPIN MARHAEN

Kapitalisme dan imperialism bukan lagi sebuah istilah yang menakutkan, karena wujud keduanya bukan lagi sebagai gerakan penguasaan sebuah negaradengan kekuatan militer dengan tumpahan darah , melainkan dengan cara-cara yang sangat ramah sehingga sebuah bangsa akan tidak merasa bila dirinya sudah dalam cengkeramanmereka.

Konsumtivisme merupakan pasukan terdepan kaum kapitalis dan imperialis saat ini. Betapa cara hidup dalam hal yang mendasar, makan misalnya. Rasanyasudah tidak ada bedanya antara orang Indonesia dengan orang Amerika atau Eropa. Di Amerika orang minum kopi di starbuck, di Indonesia orang minum kopi starbuck. Di Eropa simbol kekayaan adalah memiliki mobil ferrari, di Indonesia banyak orang memiliki Ferrari. Belum lagi dalam berbusana, merk-merk dengan harga fantastis bertebaran di kota-kota besar Indonesia. Bahkan jam tangan dengan harga ratusan juta banyak melingkari di tangan pengusaha dan pejabat negeri ini.

Pemimpin Marhaen lebih diposisikan sebagai seorang pemimpin yang berpikir sederhana,berperilaku sederhana, berpihak kepada rakyat  , pekerja keras, tidak melakonlis., mau mendengar tidak hanya mau didengar suaranya. Maka pemimpin marhaen akan memberikan tauladan dalam perilaku keseharian. Jokowi dengan perilaku keseharianya dari saat menjadi walikota Solo sampai Gubernur DKI, mencerminkan pribadi yang sederhana, empati terhadap kondisi rakyat banyak. Sehingga, ada semangat marhaenisme dalam diri seorang Jokowi.

MARHAENISME KEKINIAN

Bila bung Karno mengobarkan semangat marhaenisme sebagai tjara perdjoangan dan azaz dalam melawan kapitalisme, tentunya akan menjadi periode romantisme berbangsa dan bernegara. Marhaenisme saat ini hendaknya dipahami sebagaai semangat untuk menghargai karya anak negeri, tidak alergi ketika harus memakai sepatu cibaduyut misalnya. Marhaenisme dipakai sebagai semangat dan bangga sebagai bangsa Indonesia. Mengapa demikian ?. Saat ini kaum pemodal sudah menguasai hampir semua produk-produk ekonomi. Bahkan kaum pemodal dari luar negeri sudah mencengkeramkan kukunya dalam kehidupan industri di Indonesia.

Memahami marhaenisme sebagai antithesa dari kapitalisma dan imperialisme secara head to head justru akan membuat kehebohan yang luar biasa karena dalam marhaenisme terkandung nilai-nilai revolusioner perlawanan terhadap kapitalisme dan imperialism, sebuah kondisi yang tidak relevan saat ini.

Marhaenisme sudah selayaknya menjadi dasar pemikiran para pemimpin negeri ini,untuk berpikir, bertindakdengan empati terhadap kondisi rakyat Indonesia yang belum sejahtera. Sehingga mengobarkan semangat untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut. Sudah pasti pemimpin dengan semangat marhaenisme tidak akan korupsi. Sampai hari ini, nilai-nilai semangat marhaenisme ada dalam diri seorang Joko Widodo, dan kita mesti berbesar hati untuk memberikan apreasiasi terhadap beliau.Merdeka !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun