Mohon tunggu...
Dodi Prasetya Azhari SH
Dodi Prasetya Azhari SH Mohon Tunggu... -

Pemuda Penjaga Nilai, Fokus terhadap Perubahan Bangsa, Anti Penindasan ... Follow my twitter @Prasetya_Noy Mencoba Memukul Tirani walau hidup berasa mati.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dinasti BANTEN

19 September 2015   00:27 Diperbarui: 19 September 2015   01:19 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

POLITIK DINASTI DALAM PILKADA SERENTAK

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015 , Desember nanti, masyarakat mulai diramaikan oleh banyak isu politik. Salah satu isu hangat yang ramai diperbincangkan yaitu isu dinasti politik. Dinasti politik yang di maksud adalah suatu hal yang mengacu pada keterlibatan anggota keluarga untuk melanjutkan suksesi yang telah dirintis anggota keluarga lainnya dalam kepemimpinan politik. Banyak politisi daerah yang menjadi raja-raja kecil dan membangun kerajaan politik untuk meraih tahta kekuasaan.

Spirit karakteristik kekuasaan ala feodalisme melanggengkan kekuasaan melalui politik yang bersifat kekerabatan dan kekeluargaan yang saat ini sering disebut politik dinasti. Antara feodalisme dan politik dinasti tertangkap nilai yang menunjukkan tedensi untuk membangun kekuasaan dengan mempertahankan tradisi turun-temurun atau masih dalam lingkungan kerabat dekat.

Misalnya seorang kepala daerah (ayahnya) yang sudah berkuasa dua periode dan tidak bisa melanjutkan lagi, akhirnya mencalonkan isteri, anak atau anggota keluarga lainnya untuk berlaga dalam kontestasi politik seperti Pilkada.

Sebenarnya dalam kaca mata pandang yang sederhana hal ini tidak menjadi soal. Namun ada hal yang menjadi permasalahan diantaranya adalah banyak yang akhirnya demi melanggengkan kekuasaannya, kepala daerah tersebut mengintervensi birokrasi atau elemen masyarakat untuk memilih calon yang berasal dari anggota keluarganya tersebut. Selain mengintervensi, ada juga indikasi lain, yakni tentang penggunaan anggaran daerah untuk membiayai pencalonan anggota keluarganya tersebut. Skema politik seperti ini, banyak juga yang akhirnya membuahkan hasil kemenangan bagi anggota keluarganya dalam kontestasi politik. Seperti contoh, Yance di Indramayu dan Ratu Atut di Banten.

Politik dinasti dalam praktek demokrasi Indonesia melalui sistem Pemilihan kepala daerah sama saja menciptakan ruang bagi munculnya raja-raja kecil yang berkuasa dalam suatu wilayah tertentu dengan segala kekuasaannya. Ia bebas mengeluarkan keputusan-keputusan yang justru seringkali hanya menguntungkan keluarga dan kerabatnya saja.

Banyak yang kemudian menjadi lupa untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Ini berarti menghambat usaha pemerintah pusat untuk menyejahterakan rakyat. Dan praktek politik dinasti sebenarnya telah mengkhianati spirit positif dari sebuah konsep otonomi daerah memperkuat pertahanan dan ketahanan nasional.

Sejak 8 Juli 2015 kemarin , Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus pasal larangan keluarga petahana (incumbent) ikut serta pada Pilkada serentak Desember 2015 nanti. Putusan tersebut mengabulkan gugatan dari Adnan Purichta Ichsan yang menggugat Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Keputusan MK menyatakan bahwa "Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 UUD 1945 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusinal dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan."

Dibuatnya aturan dalam UU Pilkada 2015 tentang larangan keluarga petahana mencalonkan diri karena dalam Pilkada dilatarbelakangi sering terjadinya berbagai kecurangan seperti penggunaan fasilitas negara, intimidasi, politisi, dan mobilisasi PNS dan birokrasi di daerah untuk mendukung calon tertentu. Oleh karena itu, persaingan antarcalon kepala daerah yang bersaing menjadi tidak fair.

Ada kisah menarik dalam Islam, saat-saat akhir kepemimpinan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tidak menetapkan atau mewasiatkan siapa yang akan menjadi penggantinya sebagai pemimpin umat. Abu Bakar, Umar bahkan Ali pun tidak mendapati Rasulullah SAW berpesan tentang siapa yang akan memegang tongkat estafet kepemimpinan umat Islam. Namun ada sebagian umat menganggap, ada satu momen, dimana Rasulullah SAW telah mewasiatkan kepada Ali untuk menjadi pemimpin selanjutnya setelah dirinya .pernyataan ini keluar setelah Rasulullah SAW melaksanakan sholat malam, Rasul meminta Ali untuk menghadap dan kemudian berkata kepada Ali “Barang siapa yang menjadikan aku pemimipinnya, maka Ali adalah pemimpinnya”. Golongan yang menyatakan ini kemudian bernama Syiah. Syiah menganggap pernyataan Rasul telah menunjuk Ali sebagai penerusnya kelak. Tetapi bagi kalangan Sunni, pernyataan tersebut merupakan bentuk kasih sayang Rasul terhadap Ali dan memang kedekatan Rasul dengan Ali tidak diragukan lagi, karena Ali juga sebagai menantu Rasul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun