Mohon tunggu...
Prasetya Bhagasnara
Prasetya Bhagasnara Mohon Tunggu... Konsultan - Auditor | Konsultan

Profesional muda yang kebetulan senang beruneg-uneg dan berkelakar

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Monorail di Jakarta? Belum Cukup Mumpuni Untuk Atasi Kemacetan

17 Mei 2013   13:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:26 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Jakarta sebagai pusat bisnis negara sekaligus pusat pemerintahan negeri ini memang bagai sekantung gula yang  dikerubuti ribuan semut yang berbondong-bondong datang kemari. Ya, kota ini dengan segala potensi yang ada menjanjikan sumber mata pencaharian dan penghidupan yang lebih baik bagi warga yang tahan dengan segala tekanan yang ada.

Hiruk-pikuk kesibukan dan kemacetannya memang sudah menjadi santapan sehari-hari bagi warganya. Bahkan  bagi mereka yang juga berdomisili di sekitaran Jakarta. Keadaan ini sudah berlangsung sejak lama.  Pertumbuhan pekerja, penduduk, kendaraan, perumahan, dan perkantoran di kota ini telah menyulap kota  yang dulu pada medio 90-an cukup lengang dan asri ini (kalaupun ada kemacetan, biasanya hanya terjadi di  sedikit lokasi dan biasanya bersifat occasional) menjadi sumpek dan identik dengan kemacetan. Bayangkan,  kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta pada 2012 adalah 12km/jam. Berarti untuk menempuh jarak setara  Salemba-Kalibata saja yang berjarak lebih kurang 10-11 km butuh waktu hampir satu jam di hari normal di siang  hari. Beda cerita kalau anda bepergian pada pukul 11 malam, waktu yang ditempuh bisa dipotong hingga sepertiganya!

Penyebab kemacetan tersebut bersumber dari beragam hal. Hampir semuanya merupakan hal yang tidak asing. Penyebab pertama yang perlu di'sasar' adalah banyaknya kendaraan yang masuk ke Jakarta pada hari normal di siang hari. Ada sekitar dua juta kendaraan yang masuk ke ibukota setiap harinya yang berasal dari daerah sekitaran ibukota. Semuanya dengan alasan yang sama, bermukim di 'bodetabek' bekerja di Jakarta. Arus keluar-masuk kendaraan ini yang semestinya disasar untuk mengatasi kemacetan. Pembangunan monorail sepertinya adalah sebuah solusi canggih, namun ini bukan berarti tanpa nada pesimis mengikuti. Bisa jadi malah nantinya keberadaan monorail hanya menjadi sekedar alternatif saja tanpa menjadi solusi nyata.

Penyebab kedua yang tidak kalah andil adalah mental pengendara angkutan umum dan pengguna jalan lainnya yang masih abai dalam menggunakan jalan ibukota. Banyaknya angkot tidak masalah, justru ini solusi untuk menghubungkan daerah-daerah pinggiran Jakarta maupun daerah yang tidak terjangkau TransJakarta, Commuter Line, ataupun monorail nantinya. Tapi katakanlah benar ada sekitar 16000 angkot beroperasi di Jakarta, tak ada gunanya sebagai solusi transportasi dan penanggulangan macet apabila masih hobi ngetem atau berkendara dengan seenaknya saja. Hal yang lebih menggelikan lagi, kadang-kadang yang bermental seenak perut ini tidak hanya angkot, sering juga pengendara mobil pribadi--entah tidak tahu atau memang sengaja--menggunakan dengan seenaknya saja. Mau bukti? Cek berapa banyak mobil pribadi yang parkir dengan memakan badan jalan. Kesalahan ada di calo parkir (apabila ada) atau memang kesengajaan pemilik mobil.

Jadi kesimpulannya, monorail sebagai salah satu peretas kemacetan belum cukup mumpuni karena masih banyak faktor-faktor lain yang menyumbang kemacetan di Jakarta.

Sebagai penopang keberadaan monorail dan juga sistem transportasi lain seperti commuter line dan transjakarta yang mulai akan diintegrasikan, ada beberapa saran yang bisa dijadikan masukan:


  1. Bangun bentuk atau sistem transportasi lain selain angkot dan commuter line ke daerah-daerah 'bodetabek' yang menghubungkan dengan Jakarta. Selama ini hanya kedua moda transportasi itulah ditambah kendaraan pribadi yang digunakan jutaan penduduk 'bodetabek' dalam mencari nafkah di Jakarta. Apabila ini dapat diwujudkan (tentunya moda transportasi ini harus nyaman, bisa dengan membuat angkot terpadu yang sifatnya seperti feeder, atau dengan membuat monorail sampe daerah tersebut, banyak alternatif tentu), penduduk 'bodetabek' punya alternatif lain selain kendaraan pribadi. Tentunya ini juga akan mendukung program yang berusaha mendisinsentif penggunaan kendaraan pribadi di jalanan ibukota seperti "three-in-one" dan "pembatasan plat nomor ganji-genap". Setali tiga uang kan?
  2. Revitalisasi dan melakukan peremajaan angkot. Salah satu penyebab orang malas naik angkot adalah faktor kenyamanan dan keamanan yang kurang. Buat apa naik angkot di tahun 2013 apabila masih sama atau bahkan kondisinya lebih buruk dari angkot di tahun 1980-an. Padahal apabila diberdayakan, angkot dapat menjadi alternatif terbaik sebagai sarana kota yang murah, dan dapat diandalkan.
  3. Perbaiki sistem per-angkotan di Jakarta. Entah itu dari segi perusahaan atau komunitas yang melakukan manajemen angkotnya, atau bahkan langsung menyasar supirnya. Sistem 'setoran' kepada manajemen sudah harus dicoret karena hanya memicu supir-supir untuk pada ngetem. Juga mental berkendara supir pun harus diperbaiki. Adakan penyuluhan, sertifikasi, sistem penggajian dengan model fixed rate bisa menjadi solusi. Kalau masih tidak bisa juga? blacklist saja perusahaan/komunitas yang melakukan manajemen angkot atau supirnya. Masih banyak yang ingin mencari nafkah di Jakarta.


Kalau itu semua bisa diwujudkan, maka keberadaan monorail di jakarta pun akan menjadi manis karena usahanya untuk mengurangi kemacetan ibukota sudah ditopang oleh berbagai usaha lain yang tidak kalah vital.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun