Klasifikasi tanah merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana cara-cara membedakan sifat-sifat tanah satu sama lain, dan mengelompokkan tanah ke dalam kelas-kelas tertentu berdasarkan atas kesamaan sifat yang dimiliki. Pengamatan sifat-sifat tanah tersebut dimulai dengan pengamatan tanah di lapang, yaitu dengan mempelajari morfologi tanah dari suatu profil tanah atau penampang tanah.Â
Dengan cara ini maka tanah-tanah yang mempunyai sifat-sifat yang sama dapat dimasukkan ke dalam satu kelas yang sama, dan demikian pula sebaliknya. Klasifikasi tanah sangat erat kaitannya dengan pedogenesis atau proses pembentukan tanah karena proses yang berbeda akan menghasilkan tanah yang berbeda pula. Namun pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai tanah Spodosol.
Tanah spodosols merupakan tanah yang terbentuk dari bahan pasir atau lempung kasar dan masam. Tanah ini dicirikan oleh adanya horison B spodik atau horison akumulasi dari bahan-bahan Organik, AI dan Fe. oleh karena itu, kriteria horison B spodik Spodosols, sebagian didasarkan pada jumlah C Organik, aluminium, dan besi yang dapat diekstrak oleh pelarut tertentu dari horison tersebut. Spodosols tersebar luas di daerah beriklim dingin, sedang, atau beriklim basah. Tanah Spodosol tersebar luas di Rusia, Eropa Bagian Utara dan Kanada. Di Indonesia, luas Spodosols seluruhnya diperkirakan 2,16 juta ha atau 1,1% dari wilayah daratan Indonesia (Subagjo et al., 2004).Â
Walaupun luasannya hanya mencapai 1,1% dari luas daratan Indonesia, Spodosols menjadi penting untuk diketahui karena tanah ini tergolong bermasalah untuk lahan pertanian maupun hutan. Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam dan miskin unsur hara. Tekstur yang kasar mengakibatkan tanah ini mempunyai kemampuan meretensi hara dan air yang rendah sehingga rawan kekeringan. Demikian juga adanya lapisan padas (fragipan atau duripan) pada kedalaman bervariasi dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan karakteristiknya, tanah spodosols kurang menguntungkan, sebagian ahli berpendapat Spodosols sebaiknya tidak digunakan untuk lahan pertanian, sebab tanah spodosol potensi kesuburan nya rendah baik untuk pertanian maupun hutan.
Namun ahli lainnya berpendapat bahwa tanah ini secara selektif masih dapat digunakan untuk lahan pertanian dengan pengelolaan input tinggi. Spodosols terbentuk di daerah beriklim dingin dan juga di daerah tropika basah yang didukung oleh curah hujan tinggi. Tanah ini terbentuk baik pada tanah yang berdrainase baik maupun terhambat dengan fluktuasi muka air tanah dangkal. Spodosols tidak dijumpai pada tanah yang secara permanen jenuh air dengan kondisi reduksi sangat kuat (Mokma and Buurman, 1982).Â
Di Indonesia, tanah spodosol dapat dijumpai mulai dari dataran pantai hingga dataran tinggi >1.500 m dpl, dengan total curah hujan rata-rata tahunan antara 1.000 hingga lebih dari 3.000 mm. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1: 1.000.000 (Puslittanak, 2000), Spodosols hanya dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, sedangkan di daerah beriklim kering yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanah tersebut tidak dijumpai. Spodosols hanya terbentuk di daerah beriklim basah dengan curah hujan melebihi evapotranspirasinya. Spodosols juga dapat diasosiasikan sebagai tanah basah yang mempunyai permukaan air tanah tinggi atau dikenal dengan nama "Groundwater Podzol" atau "Podsols Air Tanah" (Mokma dan Buurman (1982).Â
Spodosol sering dijumpai pada hutan konifer beriklim dingin dan lembab. Di dunia tanah ini meliputi sekitar 4% daratan. Di Amerika Serikat tanah ini meliputi sekitar 3.5% luas daratan. Nama tanah Spodosol dalam sistem klasifikasi lainnya adalah Podsol. Sebagian besar Spodosol berkembang di daerah hutan. Karena secara alamiah tanah ini tidak subur, Spodosols membutuhkan pengapuran agar menjadi lahan pertanian yang subur. Spodosol dibagi menjadi 5 subordo, yaitu Aquod, Gelod, Cryod, Humod, dan Orthod. Berikut merupakan penjelasanya:
1. AquodÂ
Spodosol berdrainase burukÂ