Agus Prasetyo No. 70
Lelaki berkaos biru itu semakin mendekat. Penumpang yang menghalangi sedikit demi sedikit berbelok dan terlihat jelaslah olehku wajah pria berkaos biru itu.
"Sialan!!" rutukku dalam hati. Ternyata benar Jason penipu. Pria berkaos biru itu memang bule tapi berkepala pelontos dengan wajah sangar. Aku jadi ingat tampang-tampang penjahat di film. Aku setengah bergidik. Kekesalanku rupanya mengurangi kewaspadaanku. Kembali aku mengutuki diriku, kenapa kertas tulisan Jason tidak kusembunyikan? Dan jelas sudah tertangkap oleh matanya.
Pria berkaos biru alias Jason itu semakin mendekatiku... semakin dekat. Tapi tapi kok dia melewatiku. Ohhh, syukurlah. Buru-buru kulipat kertas yang bertuliskan Jason. Dan aku mulai beranjak dari tempatku berdiri. Baru saja aku berbalik badan, sebuah tangan memegang bahuku.
"Manda?"
Mendengar namaku dipanggil aku menoleh. Sesosok pria tampan tertangkap oleh mataku. Wajah ganteng yang sangat mirip bintang sepak bola idolaku Michael Owen berada di hadapanku.
"Jason?" kataku kemudian
"Yes, i am" katanya kemudian.
Aku kemudian menjabat tangannya. Gembira bukan kepalang karena ternyata Jason bukan seorang penipu.
"Hai, kenapa kamu berkaos hijau bukan biru?"
"Maafkan aku Manda. Bukannya aku ingkar janji. Sewaktu di pesawat tadi, ada penumpang di sebelahku yang mabuk perjalanan dan muntah mengotori kaosku. Terpaksa aku berganti kaos. Untung aku selalu bawa kaos di tas yang kubawa di kabin," kata Jason menjelaskan. Asal tahu saja Jason sangat fasih berbahasa Indonesia. Karena dia mantan pengajar kursus English di Indonesia.
"Ah sudahlah." kataku kemudian mengkode dia untuk mengikutiku.
Sepanjang perjalanan dari Solo ke Sragen aku menceritakan kejadian di bandara tadi. Jason tertawa terbahak-bahak sehingga terlihat gigi putihnya yang sangat bersih. Sebenarnya aku malu, tapi mungkin akan menjadi cerita yang akan kami kenang berdua.
***
"Jason, inilah rumahku," kataku setiba kami di rumah. Orang tuaku akhirnya mengijinkan Jason menginap di rumah kami. Kebetulan ada kamar kosong bekas kakakku yang sekarang sudah berumah tangga dan tinggal di Surabaya.
Kulihat Jason terpana memandang rumahku. Entah kagum atau memang tidak pernah melihat rumah seperti rumahku di London. Rumahku memang berbeda dengan rumah kebanyakan di sekitarku. Karena rumahku termasuk rumah dengan arsitektur yang klasik, maklum rumah warisan dari mendiang kakek buyut.
Rumah Joglo khas jawa dengan halaman yang luas. Joglo ini ada di depan dan mirip sekali dengan "pendapa" atau seperti tempat pertemuan di kelurahan dengan alas keramik kuno. Di samping di joglo terdapat gamelan yang sering dipakai latihan pada saat hari "Wage" (salah satu nama hari orang jawa). Sehingga nama kelompok gamelan tersebut adalah Langen sekar Wage.
Rumah utama yang kami tinggali ada di belakang joglo tersebut. Aku menyentuh bahu kokoh Jason, membuyarkan keterpanaannya. Jason kuajak masuk ke rumah. Karena sudah malam orangtuaku sudah beristirahat. Aku kemudian mempersilahkan Jason ke kamar tidurnya, mempersilahkan bersih-bersih lalu istirahat. kami sudah makan di daerah Palur saat perjalanan ke Sragen.
"Sampai besok Jason, have nice dreams," kataku kemudian.
"Thank you," kata Jason sambil menutup pintu kamarnya.
***
Keesokan harinya setelah sarapan, pamit kepada orangtuaku kami berangkat ke Kubah Sangiran. Sangiran sendiri terletak di desa Krikilan kecamatan Kalijambe. Kurang lebih 40 km dari rumahku. Rumahku ada di daerah Sragen kota. Di Sangiran Dome ini menyimpan puluhan ribu fosil dari jaman pleitocen atau kira-kira 2 juta tahun yang lalu. Fosil-fosil purba ini merupakan 65% fosil hominid purba di Indonesia dan 50% di seluruh dunia. Sebagai warga Sragen aku sungguh berbangga karena Sangiran Dome ini menjadi salah satu World Heritage List (Warisan Budaya Dunia).