Memasuki bulan Desember ini, bahkan sejak bulan November, tiba-tiba suasana gereja dan tempat-tempat keramaian dihiasi dengan hiasan serta pernak-pernik natal. Lagu-lagu natal yang setahun sekali diperdengarkan pun mulai berkumandang mendayu-dayu. Kawan-kawan, khususnya yang Kristiani, mulai narsis memajang foto-foto mereka yang sedang mejeng sambil memakai baju sinterklas atau dengan latar pohon dan atau hiasan natal, lalu dipajang di media-media sosial. Meriah bin lebay pokoknya.
Aku jadi teringat, kilas balik belasan tahun yang lalu masa-masa awal pertobatanku, saat masih bujangan dan setelah menikah namun belum punya anak. Saat perayaan Natal adalah saat dimana kami banyak mengisinya dengan beribadah baik di gereja ataupun tempat lainnya, sementara di rumah tidak ada perayaan. Kami hanya mengucapkan selamat natal saat di gereja atau kadang mengunjungi tetangga yang merayakan natalan.
Saat itu kami cukup kaku dalam memandang perayaan natalan. Bagi kami merayakan kelahiran Yesus Kristus adalah baik, namun kami tidak mau merayakan perayaan yang tidak alkitabiah. Misalnya perayaan natal yang berupa menyiapkan makanan, menghiasi rumah dengan pohon cemara hijau, atau tukar-tukaran hadiah. Hal itu bagi kami itu tidak ada di dalam alkitab dan memang itu bukan tradisi Kristen jemaat mula-mula. Apalagi sinterklas, itu sudah makin melenceng saja dari kekristenan.
Namun, ketika lebaran (Islam) tiba dan kami mengunjungi keluarga dan tetangga yang merayakannya, kami merasakan suasana yang akrab dan juga suasana yang bisa mempererat tali silaturahim. Apalagi ketika mempunyai anak dan banyak tetangga dari berlainan agama datang ke rumah untuk bersilaturahim dan bersukacita bersama, untuk itu kami harus menata ulang kekakuan kami atas perayaan natal ini.
Apalagi kalau aku bernostalgia, saat-saat sukacita menyambut lebaran dulu. Sedang saat ini kami sudah tidak merayakan lebaran (Islam) lagi. Kami harus membuat sebuah "Lebaran Kristen" bagi kami, di mana kami sekeluarga bisa bersukacita dan mengundang kerabat, tetangga dan teman-teman untuk datang di pondok kecil kami dengan bergembira sambil menikmati hidangan dengan sukacita. Aku pikir hal itu tidak ada salahnya.
Maka mulailah, kami merayakan natal dengan lampu hias dan pohon natal serta masak kue dan hidangan natal lainnya, bahkan sengaja memasak dengan resep dan bahan yang halal tentunya, karena tamu yang datang sebagian adalah kerabat, tetangga dan kawan muslim juga.
Namun, menjelang perayaan natal tahun ini ada sesuatu lain yang kurasakan untuk merayakannya, sampai saat ini tak kuhiasi rumahku, walau mungkin nanti kami masih menyiapkan hidangan buat tamu-tamu yang datang. Namun kerinduanku saat ini adalah datang kepada keluarga muslimku yang jauh dan mau memeluk dan membagi kasih dengan mereka. Juga mau datang kepada makam kedua oprang tuaku di kampung, sebagai wujud penghormatan kami kepada mereka yang telah tiada.
Natalan tahun ini, aku mau natalan dan silaturahim dengan keluarga besarku dengan penuh kasih. Untuk membuktikan bahwa walaupun berbeda keyakinan tapi kami tetap saling mengasihi.
Selamat Menyambut Natal yang adalah Lebaran Kristen bagi kami.
Mari saatnya kita membagi kasih dan perhatian buat kerabat, keluarga, teman , tetangga dan jiwa-jiwa yang dalam kesusahan dan mari kita jauhkan dari tindakan yang hedonistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H