Bila kata ‘ASU’ diucapkan maka pihak ke2 (pendengar) seakan mempunyai ‘kebolehan’ untuk marah atau malah ‘wajib marah’. Bila kata ini dipakai sebagai bahan bercandaan, maka hanyalah komunitas ‘tidak sopan’ saja yang memakainya. Kesimpulannya adalah apabila kata ini diucapkan maka yang mengucapkan adalah orang yang tidak sopan. Mengapa kemudian kata ‘ASU’ menjadi tidak layak untuk diucapkan?
Padahal ASU hanyalah susunan dari 3 huruf yang ‘tidak berdosa’. ‘A’ ‘S’ dan ‘U’. Hanya saja karena mereka berbaris berderet kemudian terbentuklah kata ‘ASU’ yang kemudian mempunyai nilai dengan respon buruk dari pendengar. Andai huruf ‘S’ diganti dengan huruf ‘K’, kata yang terbentuk menjadi begitu mulia, karena nilainya adalah pembicara sendiri, ‘AKU’. Jadi, apakah ‘S’ itu buruk dan ‘K’ adalah mulia?
‘ASU’ dan ‘AKU’ sama sama sebuah kata, tetapi mempunyai arti/nilai yang berbeda. Respon buruk atau mulia bukan dari huruf huruf penyusunnya tetapi dari nilai/arti yang terkandung pada kata.
Huruf dalam Wikipedia didefinisikan sebagai bentuk visual (gambar atau tanda) yang dibunyikan sebagai kebutuhan komunikasi verbal yang memiliki arti.
Huruf bersifat pribadi atau individu. Bila huruf huruf dikelompokkan terbentuklah ‘kosakata’ dan membentuk arti/nilai yang baru. Nilai baru ini bisa bersifat ‘baik’ atau ‘buruk’. Nilai kelompok ini kemudian bersifat menyeluruh pada nilai individu pembentuknya. Dengan keberragaman pengelompokan, individu yang sama akan mempunyai nilai yang bervariant pula.
‘A’ dan ‘U’ mempunyai nilai ‘buruk’ pada rangkaian ASU, tetapi mempunyai nilai mulia dalam kelompok huruf AKU. Masing masing dari kita adalah individu yang sudah mempunyai nilai. Kita akan mempunyai nilai baru bila kita berkelompok dan berkoloni dengan individu yang lain. Bila kita berkelompok dengan gerombolan perampok, maka nilai kita adalah anggota perampok. Bila kita berkelompok pada shaft sholat, maka nilai kita adalah jamaah sholat. Begitu mudahnya nilai kita disamakan dengan nilai koloni dimana kita berada.
Itulah mengapa simbah sering menasehati ‘ojo cedhak cedhak kebo gupak’. Dan jadikan setiap momentnya adalah edukasi.
po, july13 '12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H