Mohon tunggu...
Wahyu Dwi Pranata
Wahyu Dwi Pranata Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

cowok yang hobby menulis, aktif di media Social, suka terhadap teknologi dan aktif di MRCindonesia.com\r\nsekarang tinggal di Kudus dan jika berminat menghubungi saya bisa di Email : Dwiwahyu@rocketmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sisa Duka Kambangan

27 Februari 2014   00:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:26 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rintik-rintik masih turun di sela-sela matahari yang sempat masuk di area perbukitan yang agak lebat ketika perjanalan menuju Dusun Kambangan. Bersama Angga mahasiswa UPN jurusan Geologi, kami ingin melihat Lokasi longsor yang menelan 12 orang korban jiwa beberapa hari yang lalu. Karena Angga juga akan melakukan pemetaan lokasi di sana terkait tugas akhirnya yang berkenaan dengan bencana.

Akses Jalan masih agak sulit dilalui padahal kami sudah mengenakan sepeda motor. Terutama pada jalan-jalan yang menaik karena aspalnya sudah rusak-rusak. Hanya 5 KM per jam Jupiter saya bisa melaju.

Kami melewati jembatan yang jebol akibat terjangan Banjir bandang. Dari situ kami sudah bisa melihat dampak bencana yang terjadi. Ada rumah yang jebol dengan lumpur yang masuk setinggi sekitar 1,5 meter. sungai yang sudah tidak berupa kali lagi, batu-batuan besar berserakan, sampah-sampah nampak, batang-batang pohon besar yang tertinggal sisa dari banjir bandang di area jembatan.

Sesampainya di Kambangan, kami langsung menuju lokasi longsoran untuk melihat bagaimana keadaan tanah dan rumah-rumah warga pasca bencana. karena saya tidak puas hanya dengan membaca berita-berita yang ditulis oleh wartawan dan beberapa foto yang mereka sajikan di media mereka masing-masing. Bagi saya, bisa melihat lebih dekat kondisi di sana malah lebih bagus. Saya bisa bercengkerama dengan warga sekitar bencana untuk mengetahui kronologi kejadiannya.

Sekitar 100 dari longsoran di dukuh Kambangan, Rumah sederhana miliki Pak Hadi, kami memasuki rumahnya setelah dipersilahkan masuk oleh beliau. Seperti keramahan orang-orang desa pada lainnya, pak Hadi menjabat tangan lalu mempersilahkan kami untuk duduk. 2 kursi yang terbuat dari kayu menemani 3 kursi lain yang ada mengitari meja kecil yang berada di tengah-tengahnya. Saya mulai duduk pada kursi kayu yang memiliki jalinan tali bermotif kotak-kotak, dan Angga duduk berada di sebelah kiri saya.

Saya mulai berbincang mengenai kronologi longsor, mencoba mengulik keterangan dari pak Hadi. Tak lama kemudian Pak Hadi mulai bercerita :

malam saat kejadian aliran listrik di desa sudah mati, kami tidak dapat menyalakan apa-apa kecuali lilin-lilin kecil yang kami punya. Sedangkan di luar rumah hujan masih mengguyur deras, suasana sangat sepi dan tetangga sudah pada tertidur. Saya, istri dan anak-anak tidak keluar rumah pada waktu itu.

kami masih terjaga ketika itu karena Azhar sedang rewel , ia menangis, kami tak tahu apa yang ia minta. Padahal sudah dibuatkan teh untuk diminum tapi Azhar tetap tak mau. Lalu dibuatkan kopi juga tak mau, ia terus merengek malam itu. Mungkin juga karena suara gemuruh yang tak kunjung berhenti.

Suara gemuruh itu terdengar seperti angin yang kencang, namun kami mencaoba menghiraukannya. semua akan baik-baik saja, kami putuskan tidak keluar kemana-mana, karena memang sangat gelap di luar sana. Hingga keesokan harinya, rabu, pukul lima pagi setelah keluar rumah kami baru tahu ternyata kawasan tersebut sudah rata dengan tanah. Habis. Warga desa kaget dan sedih.”

Pandangan Saya menengok pada sosok Azhar yang kala itu sedang naik sepeda roda 3 dengan muka yang masih cemong kopi di sekitar mulutnya. Hal itu membuat saya tersenyum simpul karena Azhar terlihat seperti bapaknya yang memiliki kumis dan jenggot.

Kembali Saya Fokus pada pak Hadi dan ia mejelaskan lagi kronologi peristiwanya :

“Sekitar pukul setengah dua belas malam disela-sela suara gemuruh tersebut ada bunyi letusan ‘dhukkkk.......

Rrrrhhhuuukkk... rhukk... rhukkk...”

Istri pak Hadi menambahi “Gemuruh itu keras seperti suara guntur”.

Kemudian longsoran Lumpur menyapu rumah-rumah warga yang ada di bawahnya, karena lumpur itu bercampur dengan bebatuan hingga merusak apapun yang ia lalui.

“di sebelah timur rumah-rumah semua, dibawah tanah padas besar itu sudah banyak rumah yang didirikan di sana.” Pak Hadi sambil menunjuk-nunjuk ke arah yang dimaksud.

Tanda yang diabaikan

“Memang dulu lama sekali di atas pernah retak-retak tanahnya, namun sudah ‘linet-linet’ tertutup lagi oleh sebagian tanah yang lain. Kami tidak melaporkan hal itu.

Biasanya keadaan warga sini juga ramai anak-anak dan ada pengajian sore hari di masjid bagi mereka, warga juga biasanya ‘srawung’ sama tetangganya.

Hari Selasa sebelum kejadian pada pukul 3 sore ada seorang warga yang mengecek keadaan tanah di atas sana. Ia mengatakan tidak ada tanda-tanda tanah rekahan. namun Warga lain yang sedang mengambil sayuran gambas mengatakan sumber mata air di sana menghasilkan air yang lebih banyak, ini tidak seperti jatah hari-hari sebelumnya.selain itu ada beberapa rekahan di samping rumah warga di bawah. Jaraknya lumayan jauh dari pusat longsoran di atas.”

Memakan korban

“Hari itu juga kami(red : warga) mulai mencari korban-korban yang berada dibalik timbunan tanah dengan peralatan seadaanya. 11 korban di temukan meninggal dan 1 orang dalam keadaan hidup, ia megalami patah di kaki dan langsung di bawa ke rumah sakit, namun saya mendengar kabar bahwa akhirnya dia juga tidak dapat diselamatkan jiwanya. Korban ditemukan sore hari di balik tumpukan material longsoran. Di kebumikan di sini juga.

Kakinya sudah patah bengkok seperti ini kok mas.” Pak Hadi mencoba memberikan gambaran kepada saya mengenai patahnya kaki korban tadi dengan tangannya yang di tekuk.

“Banyak rumah yang hilang tak berbekas di sapu lumpur longsoran, ada yang tertimpa pohon kelapa juga. Tapi selama pencarian, air masih cukup deras mengalir dan bunyi gemuruh masih terdengar pagi itu, kamipun harus segera naik keatas mencari tempat yang aman.”

Begitu Bapak 2 anak tersebut menjelaskan mengenai hari-hari ketika longsor terjadi. Sesekali saya lihat ia menghela nafas panjang, karena memang ia sering mengeluhkan pernafasannya yang sering sesak karena dulu mudanya ia menjadi perokok.

Kenangan yang tertinggal

Istrinya, Siti Hanifah datang menadahkan nampan dengan tiga buah gelas teh hangat untuk kami. Perbincangan kami pun berlanjut, pak Hadi menceritakan tentang kenangannya semasa belum terjadi bencana. ia bercerita tentang sosok almarhum Asrori yang dikenal baik di lingkungan masyarakat.

Pak Hadi memiliki kenangan tersendiri Tentang keluarga Pak Asrori yang menjadi seorang Guru Madarasah Ibti’daiyah(MI) di MI Bidawatul Hidayah. Ia kenal dekat dengan keluarga mereka, Pak Asrori merupakan seorang khotib di masjid. Ia juga rajin mengaji mengikuti pengajian keliling yang diadakan oleh warga setempat. Pengajian yang dilakukan berpindah-dari satu rumah ke rumah lain bergiliran dalam waktu yang telah di tentukan.

Asrori menjadi wakil kepala sekolah di MI tersebut. Selain itu, sosok Asrori juga menjabat sebagai seorang ketua RW dan Ketua kelompok tani Sido Joyo di Dukuh Kambangan.

ia itu baik sekali mas, jika di apa-apakan oleh orang lain ...........istilahnya ia tak pernah membalas” Kenang pak Hadi dengan mata berkaca-kaca.

Istri Pak Asrori, Yanti, memiliki anak bernama Roni yang meninggal terlebih dahulu karena terjatuh saat mengikuti lomba panjat pinang yang diadakan di dekat mushola untuk memperingati hari raya Idul Fitri(syawalan).

Setelah dia(Roni) meninggal, disini ya, seperti di sirep itu, jadi sueepppii.......” kata istri pak Hadi dengan logat jawanya

Sedang saat longsor anaknya pak Asrori, Ulfa ditemukan meninggal bersama ibunya. Warga menemukan mereka di bawah tumpukan puing-puing rumah mereka di antara lumpur sisa longsoran. Gadis nahas yang masih duduk di kelas 6 SD ini meringkuk kecil dalam dekapan ibunya, Yanti.

Senasib, ibu Ismawati yang memeluk erat Iwan ketika di ketemukan tak bernyawa. Malah ibu Is masih terhimpit batu besar saat itu. Ia seakan-akan ingin melindungi anaknya agar tak jauh dari nya saat peristiwa itu terjadi. Namun nasib nahas malah menimpa mereka. tak jauh dari ibu Is, suaminya, pak Mursidi juga ditemukan tergeletak sudah tak bernafas. Tolong jangan tanyakan kondisi fisik mereka saat di ketemukan, mungkin anda bisa membayangkannya sendiri, bagaimana longsor lumpur yang menghempaskan rumah-rumah mereka menjadi tak berbekas.

Anak pak Asrori lainnya, Inu, beruntung berada di Jakarta saat musibah longsor yang disertai banjir bandang itu terjadi. Ia merantau ke ibu kota untuk bekerja. Baru beberapa bulan ia merantau ke sana. Karena memang banyak pemuda kampung yang merantau ke kota untuk mencari pekerjaan, mereka lebih senang berkarya di sana ketimbang bekerja sebagai petani di kampung. Kebanyakan merasa mencari rezeki di kampung itu sulit. Menanam padi sendiri saja sering tidak mencukupi untuk makan sehari-harinya. Mereka harus membeli beras tambahan untuk mereka dimakan. Tidak seperti pertanian masyarakat di tanah yang landai, yang sebagian bisa dijual dan untuk konsumsi sendiri.

Di dukuh Kambangan memang mayoritas masyarakatnya bertani. Mereka menanam kopi, kapuk, cengkih, ketela, dan beberapa tanaman lainnya. Harga hasil perkebunan yang sedang naik daun adalah cengkih, hari ini cengkih mencapai 140 ribu per kilonya. Cengkih ini biasanya untuk campuran pembuatan rokok, namun ada juga yangmemakainya untuk digunakan untuk bahan minyak cengkih atau makanan.

Selain karena warga yang enggan menanam pohon-pohon reboisasi yang di berikan pemerintah, warga juga berkata pak Hadi sejak zaman Presiden Gus Dur pembalakan memang mulai gencar di sini. Katanya :

orang yang tinggal dekat dengan pantai ya mencari makan di laut

Orang yang tinggal dekat dengan hutan ya mencari makan di sekitar hutan

” tapi daerah sini tidak begitu gundul sekali.

Percakapan Saya dengan Keluarga pak Hadi di tutup dengan sebungkus kopi yang diberikan oleh ibu hanifah kepada saya. Sebuah kopi yang mereka racik sendiri. Kopi tumbukan ibu Hanifah yang dicampur dengan jagung dan padi menjadi kenang-kenangan bagi Saya untuk mengingat keluarga kecil di desa Menawan yang masih diberikan perlingdungan dari yang Maha Kuasa.

Wahyu Dwi Pranata

***
Uploaded by : @PranataWahyu

RT 06 RW 19 lingkungan Majenang kel. Kuripan kec. Purwodadi kab. Grobogan

Lembaga Pers Mahasiswa Pena Kampus

Universitas Muria Kudus

***
MRC Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun