Hari ini aku kehilangan senyum Dava. Minggu ini saat yang berat untuk kami, minggu ujian sekolah dan Dava, dengan segala keistimewaan Tuhan berikan padanya, bisa dibilang prestasi akademis bukanlah salah satunya.
Tadinya kupikir aku sudah berdamai dengan itu... Walau sulit, karena seumur hidup aku tak pernah tahu rasanya menjadi anak rata2 di sekolah, dan aku hidup di dunia pendidikan, dimana orang tua mencatat tips2 mengajarkan anak di rumah yang keluar dari mulutku. Mereka tak tahu betapa habis akalku mengajari Dava...
Minggu ini aku bolos bekerja, mengalokasikan waktuku untuk memaksakan seluruh pelajaran satu semester masuk ke kepalanya yang mungil. Kami kehilangan tidur, aku mulai kehilangan sabarku karena seluruh buku habis kuhapal namun gagal kutransfer padanya, dan senyum Dava mulai meredup...
Kehilangan senyum Dava membuatku terpukul, merasa kehilangan lebih dari yang kusangka. Aku tersadar begitu banyak senyumnya setiap hari tanpa lelah dia tujukan padaku.
Dava selalu yang pertama berlari keluar saat aku pulang, senyumnya lebar, tangan terentang, menunggu bahkan sebelum mobil benar - benar berhenti. Saat aku letih dia akan memandangku dan bertanya apa yang aku perlu. Sering saat kududuk melakukan sesuatu, dia akan datang hanya untuk mengecup pipiku dan berkata "I love you...", semua yang dilakukannya disekitarku selalu dengan senyum.
Maka hari ini saat pertama kali setelah 7 tahun berlalu aku kehilangan senyum Dava, aku menghujat diriku. Yang tak mampu memberikan perlindungan disaat dia butuh, dan memaksanya menjadi aku dan bukan dirinya sendiri.
Untuk itu aku berkata pada diriku dan menyusul kepada gurunya yang judes minta ampun itu. Persetan dengan nilai delapan dan rangking 10 besar di sekolah. Aku berdamai dengan kemungkinan nilai merah, tulisan cakar ayam, menyediakan bolpoin biru baru setiap hari dan surat panggilan wali kelas untukku. Aku harus bisa berdamai dengan harapan dan mimpi2ku dan mulai mencari tahu mimpi Dava.
Dava terlahir bukan untuk jadi juara kelas, dia terlahir untuk jadi lelaki yang luar biasa penyayang. Hati baiknya itulah yang akan membawanya melesat dengan selamat dalam hidup. Dava tak perlu membawa banyak nilai seratus, deretan piagam juara kelas pulang kerumah untuk kuhadiahi pelukan. Hanya senyum Dava, dan itu cukup bagiku...
Aku tak akan biarkan apa pun merampas senyum dari bibir Dava.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H