Burung Sulingan atau juga  dikenal dengan Sikatan cacing (Cyornis banyumas), telah menjadi burung ikon desa Jatimulyo – desa konservasi burung di kawasan Pegunungan Menoreh, Kulon Progo, Yogyakarta.  Program adopsi sarang burung ini dan jenis burung lain di kawasan itu menjadi andalan untuk membangun kesadaran warga lokal maupun warga global dalam melestarikan satwa (burung).  Selain sebelumnya sudah lebih dikenal produk kas desa ini, Kopi Sulingan.
 Â
Mas Kelik  - warga Jatimulyo pionir dan penggerak program konservasi ini-  sedang galau dengan kondisi  burung Sulingan.  Beberapa sarang burung ini gagal menetaskan anak baru.  Bukan karena pencuri burung yang mulai marak lagi atau tidak adanya donatur yang mengadopsi sarang.  Namun, karena ulah burung lain.  Ya, burung lain mensabotase sarang burung Sulingan.  Caranya dengan ikut menitipkan telurnya di sarang burung Sulingan.  Celakanya burung lain itu ada yang membuang atau memakan telur inangnya.  Telur yang tersisa di sarang sangat mirip, membuat sang inang meneruskan pengeraman dan memeliharanya – dianggapnya sebagai anaknya sendiri.  Sulingan mengerami dan membesarkan anak burung lain, bukan anaknya sendiri.
Perilaku itu disebut parasit induk (brood parasitism).  Beberapa burung memang mengandalkan strategi parasit dalam reproduksinya.  Dia hanya kawin dan bertelur, setelahnya  membiarkan burung lain mengerami telurnya dan memelihara anaknya.  Perilaku ini bisa terjadi pada spesies yang sama atau  beda spesies.  Bebek common goldeneye di Amerika gemar menitipkan telurnya ke sarang sesama.  Sedang yang nitip ke sarang burung spesies lain dilakukan burung dari kelompok burung berkicau (Passeriformes: cowbird Ictiridae; Bondol Afrika – Viduidae), kelompok burung wiwik – Cuculinae, Phaenicophaeinae, dan Neomorphinae-Crotophaginae; dan honeyguides Indicatoridae) serta satu spesies dari burung air: bebek kepala-hitam (Heteronetta atricapilla). Â
Di Jatimulyo ada tiga spesies burung wiwik yang suka nitip telur ke sarang burung lain. Saya coba menggali memori mas Kelik yang sudah sejak 2014  mengamati fenomena ini.  Di Jatimulyo, berdasarkan berjumpaan maupun kicauannya,  telah teramati tiga spesies burung Cuculidae, yaitu Wiwik kelabu (Cacomantis merulinus),  Wiwik lurik (Cacomantis sonneratii) dan Kedasi hitam (Surniculus lugubris).  Seberapa besar tingkat parasitisme  ini di Jatimulyo?  Tabel berikut merupakan hasil rekapan saya mengulik mas Kelik  (Betina Wiwik kelabu dan lurik sangat sulit dibedakan, karenanya dalam tabel digabungkan). Â
Ternyata bukan hanya  burung Sulingan yang menjadi korban parasit induk.  Ada enam burung kicau lain korbannya: Pelanduk semak (Malacocincla sepiarium), Cipoh kacat (Aegithina tiphia), Cinenen jawa (Orthotomus sepium), Ciung-air jawa (Macronous flavicollis), Burung-madu jawa (Aethopyga mystacalis) dan Kehicap ranting (Hypothymus azurea).  Burung Sulingan memang yang paling banyak menjadi inang parasit induk. Namun, belum diketahui alasannya mengapa wiwik dan kedasi lebih memilihnya.  Yang pasti, semua spesies burung kurban (inang) ukurannya lebih kecil.  Pilihan burung Wiwik lurik meletakan telurnya pada burung-madu jawa sungguh sangat aneh.  Dari ukuran sangat jauh berbeda, makanannya pun juga berbeda.  Burung-madu lebih banyak makan nektar, sedikit serangga, sementara burung wiwik lebih suka serangga.  Pantauan mas Kelik, anakan burung wiwik lurik itu memang menetas, namun tidak bertahan hidup sampai bisa terbang.
Fenomena lain yang menggugah untuk diteliti lebih lanjut: bagaimana betina burung wiwik/kedasi memilih inangnya?  Ada empat hipotesis.  Pertama, hipotesis  preferensi inang (host imprinting/host preference hypothesis) – anak wiwil/kedasi akan ‘merekam’ induk inang yang membesarkannya,  setelah dewasa dia akan mencari burung yang mirip, untuk dijadikan inang anaknya. Kedua,  hipotesis habitat imprinting -  anak wiwik/kedasi ‘merekam’ kondisi habitat dimana dia tumbuh, dan akan mencari burung inang yang hidup di habitat yang sama.  Ketiga, hipotesis natal philopatry,  anak wiwik/kedasi saat dewasa akan kembali ke habitat dimana dia tumbuh dan mencari sarang inang secara acak.  Keempat, hipotesis lokasi-sarang (nest-site hypothesis) -  induk betina wiwik/kedasi akan memparasit kelompok spesies inang dengan lokasi sarang yang mirip.  Perlu pengamatan yang sabar dan tekun, bahkan dengan eksperimen untuk membuktikan hipotesis mana yang berlaku di Jatimulyo. Â
Tertarik  dengan pertanyaan evolusi: bagaimana burung parasit beradaptasi supaya berhasil strategi reproduksinya? Dan bagaimana pula burung inang bertahan untuk keberhasilan reproduksinya atau melawan parasitisme itu? Ada proses evolusi dan co-evolusi.  Selengkapnya .... tunggu tulisan selanjutnya :). Â
** Terimakasih untuk mas Kelik yang telah berbagi cerita dan catatan pengamatnnya, serta mengijinkan fotonya untuk digunakan di sini. Â Hasil pengamatan ini pernah dipresentasikan di Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung di Indonesia VI, Â Malang, 5 November 2021 Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H