Penegakan kedisiplinan yang selalu diutarakan, "instruksi batasan tidur malam, Rambut gondrong, warna pakaian shalat, persoalan piring bahkan pembatasan warung eceu" penulis kira itu adalah produksi kedisiplinan paradigma kolot yang dipaksakan untuk dapat menafsir dan mengatur keadaaan modern.
Penegak kedisiplinan sepertinya tidak memperhatikan atas pergeseran garis kedisiplinan, bahwa generasi z yang memiliki kemampuan multitasking mampu mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus dalam satu waktu, kritis dan mendetail serta gemar dengan penghargaan, seharusnya diberikan metode penindakan yang lebih memperhatikan karakteristik mereka, bukan ditindak dengan narasi yang cenderung represif (menekan) Â atau bahkan supresif (menindas) batin.
Setiap usaha pendisiplinan yang digulirkan sebenarnya murni upaya pendisiplinan atau justru hanya lembaga yang terlalu paranoid? Secara bersamaan lembaga sedang mengafirmasi bahwa semua kekhawatiran itu sebenarnya sedang menjelaskan keadaan dan ketidakbaikan keadaan mereka, dan berpotensi terjadi pada anak didiknya karena ulah dan tindakannya. Begitu bukan? karena menurut William Arthur Wars "Guru adalah titik inspirasi bagi murid-muridnya".
Mana mungkin perkataan kurang etis dapat menjadi halal dilontarkan diruang kelas oleh seorang kyai setelah sekian menit sebelum nya melarang perkataan itu dalam nasihatnya. Mungkin setiap dari kita memaklumi dan menganggap wajar kejadian ini, tapi disisi lain ada arah dan cita-cita besar lembaga ini yang dipertaruhkan dengan pimpinan yang inkonsisten hanya dalam waktu sekian menit!
Perlukah kita merevolusi kiblat percontohan dan menggeser beberapa inci fatwa kehidupan kita, seperti kata marx "revolusi adalah lokomotif sejarah" dan setiap dari kita secara komunal saling merumuskan kiblat yang pantas sebagai parameter kita, dan secara bersamaan berbahagia mengkalkulasikan masa depan dengan kiblat yang lahir berdasar keadaan kita.
Maka, kita perlu memulai itikad baik untuk menyambut kemajuan ide dan gagasan dimulai sejak pengikraran pergantian kepemimpinan, berharap dengan pimpinan yang baru dapat benar-benar menerapkan kebijakan yang menjawab tuntutan santri, tidak hanya mendengarkan, tetapi mencoba untuk menjalin komunikasi dengan para wakil santri yang terhimpun dalam Ortom yang semoga terus diakui keberadaannya. Bersamaan dengan harapan penulis terhadap Ortom ataupun seluruh santri, untuk dapat bersama menjamurkan empati dengan obrolan-obrolan terkait aspirasi dan keterwakilan, supaya kehadiran santri memang patut diperhitungkan dalam perumusan kebijakan.
Dan terakhir, tidak ada maksud lain, penulis hanya sekedar ingin membantu mengangkat rantai panjang keresahan ini kepermukaan, agar tuntutan dan kebijakan tepat sasaran dan tidak prematur! Karena menurut penulis, santri tidak hanya sebagai objek tuntut, tapi setiap dari kita adalah manusia bebas yang berhak mengoreksi dan merumuskan arah masa depan kita yang sedikit-banyak ditentukan oleh kebijakan dan kultur pondok kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H