Mohon tunggu...
Pramudya Arif Dwijanarko
Pramudya Arif Dwijanarko Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Program Studi Teknik Elektro UGM Penerima program pembinaan PPSDMS Nurul Fikri Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Let’s Kick Politic Out of Football

12 Maret 2012   14:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:10 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sepak bola menjadi olah raga palin digemari di negeri ini. Terhitung ada ribuan orang atau bahkan jutaan orang yang menyukai sepak bola. Macam-macam jenjang. Mulai dari kelas suporter fanatis hingga para artis yang menyukai sepak bola untuk mendapat ketenaran.

Sepak bola menjadi nafkah, bukan hanya bagi klub di dalamnya. Namun para sponsor berlomba-lomba menginvestasikan dana mereka agar feedbacknya produk mereka juga laris oleh pecinta sepak bola. Perusahaan rokok paling mendominasi di bidang ini. Mereka tidak ragu menginvetasikan dana besar. Bukan tanpa tujuan, namun agar brand produk mereka menjadi lebih laris. Pun juga dengan politik.

Politik, terutama di negeri ini, identik dengan kerakusan, perebutan kekuasaan, korupsi dan hal-hal negatif lainnya. Sebenarnya tidak demikian. Namun di Indonesia, pengertian politik mengalami peyorasi. Makna dari politik menyempit dan cenderung ke arah negatif. Tidak lain, ynag menjadi penyebabnya adalah pelaku politik itu sendiri.

Para pelaku politik cenderung lebih bersikap pragmatis dibanding loyal untuk berbakti untuk kemajuan Indonesia. Memang masih banyak yang loyal. Namun sikap baik mereka terkubur oleh kebejatan rekan-rekan mereka sendiri. Plus, kepercayaan dari masyarakat yang mulai pudar. Segala hal yang berhubungan dengan politik, cenderung akan berakhir buruk Paling tidak, seperti itulah persepsi yang dibangun oleh masyarakat saat ini.

Ketika kepentingan dari pelaku politik mulai masuk ke sepak bola, hasilnya tidak beda jauh. Nol besar. Bisa kita lihat sendiri, dualisme kompetisi yang ada sekarang tidak lepas dari hasil perbuatan kepentingan para pelaku politik tersebut.

Memang tidak semua politik memiliki dampak langsung yang buruk terhadap kualitas sebuah tim. Hal ini bergabtung dari keseimbingan manjerial dalam tim tersebut. AC Milan misalnya. Meski diisukan menjadi kendaraan Silvio Berlusconi untuk memudahkan jalannya selama menjadi perdana menteri Italia, prestasi AC Milan masih stabil. Namun kebanyakan mengatakan tidak. Syahwat politik cenderung mengabaikan nilai-nilai sportifitas yang dibawa oleh sepakbola.

Mesir bisa kita jadikan pelajaran. Di tengah-tengah euforia rakyat Mesir yang tengah merayakan jatuhnya tirani Husni Mubarok, para politisi memanfaatkan sepakbola. Dalam pertandingan yang akhirnya membawa Al Ahly kalah 1-3 dari Al Maisiry tersebut terjadi bentrokan antar suporter. Paling tidak ada 73 orang meninggal dan 1000 orang lebih terluka. Ada beberapa tudingan yang mengatakan bahwa para pendukung Husni Mubarak yang tidak rela pemimpin mereka dijatuhkan berperan besar pada tragedi ini. Daerah Port Said dianggap sebagai salah satu basis pemberontak rejim yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu. Ikhwanul Muslimin, kekuatan politik terbesar di Mesir, menuding para pendukung presiden terguling berusaha memanfaatkan ketidakpuasan suporter Al-Ahli yang favorit juara namun dapat dikalahkan oleh tim Al-Masry yang menjadi underdog pada pertandingan untuk membuat kekacauan.

Di Indonesia, meski akibatnya tidak hingga sehebat Mesir, politik sama-sama memberi dampak buruk pada sepak bola. Dualisme kompetisi yang ada sekarang tidak lepas dari pengaruh perebutan kekuasaan dua kutub kekuatan politik di negeri ini. Tidak ada yang mau mengalah dalam perebutan kekuasaan tersebut. Mereka berlomba-lomba menarik dukungan dari suppurter masing-masing klub.

Di Malang pengaruh politik dalam sepak bola terlihat sangat jelas. Pecahnya Arema menjadi tiga klub berbeda adalah akibta dari canpur tangan politik. Hal yang wajar jika sebuah kota memiliki beberapa klub. DI Eropa pun juga banyak. Namun jika klub-klub tersebut memiliki nama yang sama, pasti ada maksud tersembunyi. Saat ini ada tiga tim dengan nama Arema, satu tim di ISL dan dua sisanya di IPL.

Kabar yang santer beredar, kengototan penggunaan nama Arema tersebut dalam rangka menarik suara pada pilkada Malang pada 2015 nanti. Kita tahu sendiri seperti apa fanatisme para Aremania tersebut. Mereka cinta mati terhadap klub. Apapun rela mereka lakukan demi klub kesayangan mereka. Jika benar, pecahnya Arema tersebut disebabkan oleh kepentingan politik, maka hasil akhirnya sudah bisa diperkirakan. Akan banyak pihak yang merugi. Para supporter tentu akan terpecah. Dukungan tidak akan maksimal. Pemasukan klub sudah pasti akan berkurang. Cita-cita kita untuk melihat sepakbola profesional semakin pudar. Contoh lain yang cukup potensial adalah kekalahan telak timnas dari Bahrain beberapa hari kemarin. Kekalahan yang merupakan kekelahan terburuk dalam sejarah sepak bola tanah air ini bahkan hingga masuk penyelidikan FIFA.

Kita tentu tidak menginginkan bola bundar itu jatuh ke tangan-tangan kekuasaan yang korup. Biarlah sepakbola dengan dunianya sendiri dan biarkan politik dengan caranya sendiri pula. Sudah ada tempat bermain yang disediakan. Bola di hijau rumput, politik di gemerlap kuasa. Jangan sampai sampai terjadi, kostum timnas PSSI jadi berwarna-warni sesuai aliran politik yang dianut. Jangan kita biarkan, burung garuda di kostum timnas berganti lambang partai politik. Jika terjadi, kita telah mewariskan kecelakaan sejarah pahit kepada anak cucu. Let’s kick politic out of football.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun